Friday, August 27, 2010

Dorma Sijumle

Tak seorang pun di dalam Colt itu mengetahui bahwa Takkas membawa istrinya di dalam tas ranselnya. Tas yang dipeluknya sepanjang perjalanan. Dua wanita di sebelah Takkas terlelap dengan mulut mangap. Takkas tak bisa tidur. Matanya menyusuri barisan pohon pinus di sepanjang rute menuju Parapat. Jalan yang berkelok-kelok membuatnya gentar. Supir Colt itu kerasukan. Kerjanya ngebut dan nyalip kendaraan di depan. Bahkan Colt itu hampir menabrak truk yang membawa kelapa sawit gara-gara ketika hendak nyalip sebuah sedan muncul dari arah berlawanan. Untung mobil cepat kembali ke jalurnya dan berkurang lajunya sehingga tidak menabrak pantat truk sawit itu. Takkas menahan napas dan memandang tegak ke depan karena ulah sang supir. Siap siaga untuk bertindak kalau-kalau si supir meleng. Tapi, tampaknya supir itu sudah menguasai medan menuju Danau Toba ini.

Sungguh, Takkas mensyukuri kecepatan itu. Dengan ongkos dua puluh lima ribu rupiah, perjalanan dari terminal Amplas di Medan menuju Parapat hanya makan tiga jam. Padahal menurut orang-orang di terminal, perjalanan bisa mencapai lima jam. Kalau naik bus beda lagi. Ongkosnya memang lebih murah, sekitar lima belas ribu, tapi lamanya bisa mencapai tujuh jam karena bus harus singgah di berbagai tempat untuk mengangkut penumpang. Sudah puluhan tahun Takkas tidak melintasi jalan itu. Ia hanya ingat satu hal. Jika jalan sudah dihiasi pohon pinus maka Danau Toba menanti di muka.
***

Setelah bertanya pada eda yang tersadar dari liur, Takkas turun di simpang. Tepat di bawah pigura bertuliskan “Selamat Datang di Danau Toba”. Yang digantungi spanduk mengenai Pesta Danau Toba yang diadakan tanggal tujuh sampai sebelas Oktober yang lalu. Sudah lewat tiga hari. Baguslah. Takkas ogah bersesakan dengan turis bule berbau keju basi di dalam kapal menuju Samosir. Ia sempat takut mengingat nanti akan naik kapal. Konon, setiap festival Toba dirayakan, danau meminta korban manusia. Berita ini muncul beberapa kali di koran. Tapi, masalahnya bukanlah pada mitos minta korban, melainkan kapasitas yang kelewat batas. Demi mendapat uang yang banyak, tukang kapal memuat penumpang festival yang berjubel-jubel itu sehingga kapal keberatan dan karam di tengah jalan.

Takkas jalan kaki menuju pelabuhan Ajibata—sebelumnya ia nyasar ke pelabuhan Tiga Raja yang terletak tidak jauh dari Ajibata, tapi kapal di sana tidak menuju Samosir. Yang disebut pelabuhan pun ala kadarnya saja. Sandaran di Ajibata berupa pinggiran danau yang ditempeli ban-ban bekas untuk mencegah benturan dengan mulut kapal. Sandaran itu hanya bisa menampung sebuah kapal. Jadi, kapal ganti-gantian mengangkut penumpang. Ada kapal datang, maka kapal yang mangkal harus segera berangkat. Kapal itu pun bukanlah semacam feri yang menghubungkan Merak dan Bakaheuni. Kapal itu terbuat dari kayu dan berlantai dua saja. Nakhodalah yang bertengger di lantai atas.

Kurang lebih satu jam kapal mengarungi Toba dan tiba di pelabuhan Tomok. Samosir menyambut dengan pemandangan bukit-bukit berpinus yang dilapisi kabut. Jam masih menunjukkan pukul sebelas. Kehidupan pasar masih berlangsung. Inang-inang menjajakan dagangan, ikan-ikan danau, sayur-mayur, durian, pisang goreng, kain ulos, dan lain-lain. Supir Colt ramai menawarkan jasa antar menuju Tuk Tuk, Simanindo, dan Pangurukan—daerah tujuan turis. Takkas menggeleng. Tujuannya dekat saja. Ibunya berpesan bahwa ia harus menemui Pak Lumbanbatu, kawan lama ibunya yang menjadi guide di objek wisata kuburan tua Raja Sidabutar. Keluar dari pelabuhan, kau akan melihat jalan menanjak yang dipenuhi penjual buah tangan khas Toba, masuklah ke sana. Begitu pesannya.

Setelah melewati lorong penuh pedagang yang garang menjajakan barang, Takkas sampai di tujuan. Kuburan itu terletak di sebelah kanan, dua meter di atas jalan. Dari tangga ia menyaksikan para turis asyik berfoto di kuburan-kuburan batu berkepala. Lima kuburan batu berjejer di depan. Dua di belakangnya adalah kuburan biasa. Seorang pria tua berselendang ulos tampak menemani para turis. Ialah Lumbanbatu. Ia mewakili citra orang Batak umumnya, wajah kotak dan rahang yang kaku. Rambut ikal menambah keras pembawaan wajahnya. Tapi, ia segera menyambut Takkas ramah. Ditambah tepukan di bahu.

“Sampai juga, kau?”

“Ya, lumayan perjalanannya.” Menegangkan, bukan melelahkan.

“Jadi, bagaimana keadaan istrimu?”

“Bagaimana Bapak tahu?” Takkas terkejut. Ia bahkan belum memperkenalkan diri.

“Ibumu sudah telepon. Aku kenal istrimu, Boru Sinaga, sejak ia bayi. Ia tidak pernah merasakan air susu ibunya.” Ya, ibu mertua Takkas meninggal ketika melahirkan anaknya. Pak Lumbanbatu menggiring Takkas duduk di batu panjang yang berfungsi sebagai bangku.

“Istriku makin parah, Pak, belum sadar juga.” Takkas menjawab lesu. Ia ingat istrinya terbaring lemas di rumah, bukan di dalam tas yang dipeluknya kini.

“Sudah berapa lama?”

“Seminggu. Seminggu sebelumnya dia bertingkah seperti orang hilang akal.” Takkas tidak mau menyebut istrinya seperti orang gila.

“Bawalah istrimu ke sini. Ia harus berobat di tanah leluhurnya.”

“Maksud Bapak?”

“Istrimu kena dorma sijumle.”

“Leluhur kami,” ia melanjutkan, “ Ompu Sribuntu Sidabutar, memiliki cucu bernama Naibatu. Sesuai namanya, Naibatu berwatak keras seperti batu. Ia ingin menjadi yang paling sakti. Setiap membantai musuhnya dalam perang, ia akan menampung darah mereka. Mengoleskannya di wajah dan rambut untuk menambah kesaktian. Ia punya kekasih yang sangat cantik, primadona Samosir. Anting Malela Boru Sinaga. Mereka berpacaran selama sepuluh tahun. Pernikahan mereka gagal karena seseorang meneluh Anting Malela hingga ia menjadi tidak waras. Raja sangat malu sehingga tanpa sadar mengutuk Anting Malela dan keturunannya. Nasib Anting tidak diketahui. Ada yang bilang ia meninggal. Ada yang bilang ia pergi. Dorma sijumle adalah teluh yang hanya mengincar wanita dan tidak dapat disembuhkan.”

Pak Lumbanbatu menutup cerita dengan sebuah skak mat: tidak dapat disembuhkan. Takkas tidak nyaman mendengar hal itu. Wajahnya memanas. Hatinya luruh perih.

“Kenapa istriku, siapa yang kirim?”

“Istrimu, konon, adalah keturunan Anting Malela. Pengirimnya tak ada. Itu adalah kutukan. Karena ia menikah dengan Sidabutar, Kau!” Tunjuk Pak Lumbanbatu ke muka Takkas.

Perkataannya terasa seperti layangan tinju ke kepala Takkas. Muka Takkas pucat sekaligus memerah. Penderitaan istrinya tak lain disebabkan olehnya. Ia telah melanggengkan kutukan purba itu. Ia ingin segera terbang ke rumah. Bersujud dan mohon maaf pada istrinya. Biarlah kutukan itu berpindah kepadanya.


“Apakah sudah ada korban sebelumnya?”

“Entahlah. Baru kau yang langsung menemuiku. Begini saja, lebih baik kau bawa istrimu bertemu penerus Sidabutar yang tinggal di bawah bukit, tak jauh dari sini. Nanti aku antar.”

Solusi Pak Lumbanbatu terasa tanggung. Ia memberi penyelesaian yang tak pasti. Manusia memang tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi kemudian. Tapi, paling tidak inilah jalan keluar dari kebuntuan Takkas selama di Jakarta. Semua orang pintar di sana tidak memahami apa yang menimpa istrinya. Ia juga sudah menjelajahi Banten untuk mencari bantuan. Tapi, mereka hanya bisa membaca jampi-jampi, menyembur istrinya dengan air kumur mereka, dan memencet jempol kaki istrinya sampai biru. Istrinya tak kunjung sadar.

***

Sebelum pamit kembali ke Parapat untuk mencari hotel, Takkas memandang kuburan batu Raja Naibatu yang berwatak batu itu. Raja-raja terdahulu minta dikubur di dalam batu sebagai lambang kebesaran mereka. Saat itu, agama Kristen memang belum diterima dengan baik oleh penduduk setempat sehingga aturan mengubur manusia di dalam tanah seperti yang dianjurkan agama-agama Semit belum diterapkan. Penyebaran Kristen saat itu tidak berhasil karena penduduk masih memegang kuat agama tradisional Batak dan menyembah Parmalim (sebutan untuk pencipta alam semesta).

Sesampainya di daratan Toba, Takkas mencari hotel di sekitar pinggiran danau agar mempermudah jika harus segera kembali ke Tomok. Tarif hotel yang mahal tak dipedulikannya. Harga itu setimpal dengan pemandangan alam yang dapat dinikmati dari balkon kamar. Senja di Toba begitu bening dan berkilau, berbeda dengan senja di Kuta atau Uluwatu sana. Tapi, kini ia tidak mampu memaknai keindahan itu. Bayangan istrinya selalu menghantui. Ia tidak menyangka kemajuan zaman masih menyediakan tempat untuk misteri. Untuk hal-hal yang dianggap takhayul. Ia tidak rela memikirkan istrinya harus pergi dengan kutukan jahanam itu. Tapi, bukankah semua orang tidak akan rela kehilangan istri, apa pun caranya.

Satu hari ini ia belum menghubungi keluarganya. Keluarganya juga bertindak sama. Mungkin mereka tidak mau mericuhkan usaha Takkas mencari cara penyembuhan untuk istrinya tercinta. Perempuan Batak yang bersusu besar. Ia ingat ibunya begitu senang ketika melihat calon menantunya.

“Pandai sekali kau, Nak, mencari istri yang bersusu besar. Tak percuma kau lahir sebagai orang Batak. Walaupun lama merantau, tak lupa asal usul.”

Siapa pula yang akan lupa pesan yang disampaikan selama bertahun-tahun. Setiap makan malam bertiga (Takkas anak tunggal), ibunya memberi hidangan penutup berupa ceramah menantu ideal. Bagi orang Batak (tepatnya bagi orang Batak dahulu kala, mungkin sekarang ibu Takkas seorang yang masih mematuhi petuah ini), perempuan harus bersusu empat. Bukan, bukan berarti perempuan siluman atau jadi-jadian. Empat susu adalah empat kriteria, yaitu susu yang besar sebagai simbol kesuburan karena banyak anak banyak rezeki, ramah-tamah, kesucian hati, dan kesetiaan sampai akhir hayat (orang Batak tidak mengenal perceraian).

“Tapi, dia tidak cantik, Bu. Wajahnya sama denganku. Kotak. Bisa-bisa nanti anak kami kotak seperti Spongebob.”

Mereka bertiga terbahak-bahak. Kini Takkas mau menangis mengingat kembali kejadian itu. Ia belum punya anak. Ia belum bisa membuktikan omongannya tentang anak berwajah kotak Spongebob. Pernikahannya belum genap satu tahun. Semua terjadi tiba-tiba: suatu pagi istrinya bangun dan hilang akal.
***

Kepalanya adalah batu berlumur darah. Merah yang begitu gelap. Takkas tidak tahu apakah tubuh pria berkepala batu itu adalah batu karena ia berjubah. Ia menggandeng seorang gadis, pula berjubah. Takkas yakin betul itu istrinya. Sebab gadis itu tidak berkepala batu sehingga Takkas bisa melihat jelas raut istrinya pada gadis itu. Pria berkepala batu itu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Takkas. Takkas pun bertanya mau dibawa ke mana istrinya. Mereka malah mundur menjauh. Takkas terus memanggil. Keringatnya meleleh karena udara terasa begitu panas memyulut kulit. Ia terus memanggil ketika tiba-tiba terasa getaran di saku celananya.

Ada telepon dari nomor tak dikenal. Takkas menjawabnya sambil bangkit dari tempat tidur. Badannya yang basah keringat gigil dihajar AC. Ia membawa sisa-sisa mimpi itu ke alam nyata.

“Halo?”

“Kau harus bawa istrimu, sekarang!” Seseorang memerintah.

“Apa?” Nada nut-nut-nut terdengar. Ada telepon masuk. Nomor rumah Takkas. “Sebentar, ada telepon masuk.” Takkas memakai conference call.

“Halo?”

“Pulang sekarang juga. Istrimu…” Ibunya terisak-isak di ujung telepon, di pulau seberang.

Ponsel Takkas terlepas dari genggaman dan terbanting di lantai.

Naibatu berwatak keras batu telah membawa pergi istrinya.


Jakarta, November 2009.

No comments:

Post a Comment