Friday, August 27, 2010

Menjelang Hari Raya

Menjadi PNS mungkin adalah impian semua orang. Lihat saja membludaknya peserta yang ikut seleksi PNS yang diadakan berbagai departemen pemerintahan. Pak Tresna pun tak pernah menduga bahwa pengorbanan untuk menjadi PNS sangatlah besar. Ia bekerja di TPU Sirnaraga. Menjabat sebagai tukang gali kuburan. Tidak seperti lima temannya yang lain, Pak Tresna belum resmi menjadi pegawai penggali kuburan di TPU itu. Ia hanyalah pekerja cabutan, belum terdaftar sebagai PNS di KPP (Kantor Pelayanan Pemakaman) yang membawahi TPU Sirnaraga. Tidak adanya latar belakang pendidikan dalam riwayat hidup Pak Tresna menjadi sebab. Pun begitu, ia selalu berharap dapat diangkat sebagai PNS. Nilai akademis apa pula yang diperlukan untuk membantu proses mencungkil tanah, pikirnya.

Impian itu membuat Pak Tresna selalu giat dan jujur bekerja. Ia tidak mempersoalkan beratnya kerja mengorek-ngorek tanah dengan jatah yang terserah dan keringat yang melekat. Ia tidak peduli manakala urat-urat di tangan, kaki, dan wajahnya, semakin menonjol. Bahkan urat-urat itu membatu sejalan dengan waktu. Berapa pun ongkos yang diberikan oleh pemesan kuburan diterimanya dengan lapang dada. Ia juga selalu membagi rata penghasilan itu dengan sesama pekerja—ia pernah membagi-bagi ongkos lima puluh ribu dengan empat teman lainnya sehingga mereka masing-masing hanya memegang sepuluh ribu setelah berjam-jam mengukur dan mencangkul tanah. Jika ada pemesan yang memberi uang lebih, Pak Tresna menggunakannya untuk minum kopi bersama-sama di warung Bu Yayah yang terletak di depan TPU Sirnaraga. Itulah sebabnya ia disenangi oleh banyak orang. Warga setempat selalu memesan kuburan langsung kepadanya. Padahal semestinya lapor dahulu ke kantor TPU.

Seperti tahun-tahun sebelumnya ketika hari raya akan tiba, Pak Tresna merasa sangat bahagia. Ia menyiapkan tenaga ekstra untuk menggali lubang-lubang baru. Ya, lubang-lubang. Banyak lubang berarti banyak pula pemasukan. Pimpinan TPU, Pak Togog, berpesan kepada para tukang gali agar segera membuat lima puluh lubang untuk memenuhi pesanan menjelang hari raya. Kecelakaan lalu lintas sering terjadi saat musim mudik. Korban tewas berjatuhan. Pesanan berdatangan secara mendadak. TPU tidak perlu repot karena sudah mengantisipasi hal itu. Penguburan bisa cepat dilaksanakan. Meskipun rupiah melimpah, Pak Tresna resah gelisah. Lubang-lubang itu membuatnya merasa telah meramalkan kematian orang lain. Pendek kata, mengharapkan kematian seseorang. Dalam benaknya, ia sama sekali tidak berniat menggali lubang-lubang itu. Lubang perangkap kematian.

Pak Tresna selalu mengingat pesan ibunya beberapa tahun silam, sebelum ibunya berbaring di salah satu sudut TPU, di bawah pohon Mangga yang tak pernah dipanjat warga walaupun buahnya seringkali merangsang liur (warga takut sesudah makan mangga itu mereka kesurupan dan tertimpa sial, atau mencret-mencret sebulan penuh barangkali). Ibunya pernah berbicara soal hakikat pekerjaan menggali kuburan. Penggali kuburan adalah manusia berjasa yang mengantarkan sesamanya menuju kehidupan selanjutnya, di luar dunia fana ini. Penggali kuburan tak ubah seorang travel agent. Tugasnya adalah mengantarkan orang menuju tempat yang semestinya. Jika seseorang ingin wisata ke Bali, maka seorang agen wajib memenuhinya. Andaikata seseorang meninggal, tentu kita tahu tujuannya. Kata-kata ibunya selalu berputar-putar di dalam batok kepala Pak Tresna. Janganlah kau mengundang kematian.

Ia pernah mendengar kisah seorang penjual peti mati yang memuja kematian. Alkisah, pria itu merakit sendiri peti mati yang dijualnya, yang terpajang di depan rumahnya. Konon, malam sebelum petinya terjual, pria itu selalu memimpikan petinya bergerak-gerak sendiri. Hal itu menjadi nyata, malam bermimpi, esoknya peti mati laku. Demikian seterusnya sampai suatu malam pria itu bermimpi serupa. Namun, pembeli yang ditunggu tak kunjung hadir. Bahkan sampai berbulan-bulan berselang. Pria itu resah karena istrinya marah-marah minta uang. Sebuah ide muncul di kepala pria itu. Bagaimana kalau peti-petinya di-sale, diskon lima puluh persen. Tulisan obral pun terpampang di depan dagangannya. Ternyata berhasil. Ada tetangga yang membeli peti karena ayahnya mati mendadak. Dan seterusnya, peti mati pria itu laris manis sehingga membuat warga curiga. Kematian ganjil selalu berada di balik pembelian peti-peti itu. Seorang warga lapor polisi dan menuduh pria itu sebagai pembunuh. Polisi memborgol dan menggiring pria itu masuk mobil. Istri dan anak pria itu sibuk mencegah. Seorang polisi mendorong anak pria itu hingga tersungkur membentur aspal. Darah bercucuran tanpa terkira. Polisi batal menangkap pria itu. Mereka membiayai peti dan penguburan anak itu. Sebuah peti mati yang tersisa telah menemukan tuannya.

Kisah itu membuat hati Pak Tresna ciut. Ia merinding setiap kali membayangkan seseorang mungkin saja dapat mengundang kematian sesamanya. Ia melaksanakan amanat Pak Togog dengan berat hati. Tapi, ia tergoda juga ketika Pak Togog berjanji akan mencalonkannya sebagai PNS. Kesejahteraanmu akan meningkat, tak lama lagi. Ia hanya perlu menanti sampai musim hari raya berakhir. Hatinya berdebar, tak sabar menahan penantian menjadi PNS. Impian yang ditanamnya selama ini akan berbuah.

Debaran bahagia itu berganti nestapa ketika Pak Tresna harus melewati ujian akhir kelulusan menjadi PNS. Ia dapat perintah untuk menguburkan dua jenazah pria dalam satu lubang. Dua pria itu adalah pencopet yang tewas dihajar massa di sebuah stasiun. Andaikan mereka hanya mencopet dompet dan telepon genggam tentu akibatnya tak separah itu. Tapi, mereka meremas buah dada gadis yang dicopetnya. Maka habislah pencopet binal itu diterkam massa yang gemas. Penjahat anonim itu tidak diketahui identitasnya. Juga tidak ada warga yang mengaku kehilangan sanak keluarga yang berprofesi sebagai tukang copet merangkap tukang colek. Kepolisian lantas mengirim dua jenazah bertato Donal Bebek itu ke TPU terdekat. Andaikan mereka bertato Paman Gober mungkin nasib mereka tidak semalang keponakan tokoh Walt Disney itu—si sial Donal. Mereka dapat berenang di gudang uang, bukan tenggelam di lubang buaya.

Tidak mungkin jenazah itu dibuang begitu saja, harus dikubur. Tidak mungkin juga kita memberikan dua orang jahat, entah siapa, itu liang lahat secara gratis. Tidak ada ongkos, tidak ada pelayanan. Kuburkan saja mereka dalam satu lubang. Kita masih membutuhkan empat puluh sembilan lubang untuk persiapan menjelang hari raya. Ayo, kubur saja. Ngomong-ngomong, kau masih berminat jadi PNS, kan.

Astagfirullahaladzim.

Pak Tresna hanya dapat menyebut kalimat itu ketika mendengar maklumat keramat Pak Togog. Ia belum mengiyakan perintah itu, pun menyanggah. Kebimbangan menghantui pikirannya. Dua minggu dari sekarang impiannya menjadi PNS akan terkabul. Dua minggu dari sekarang janjinya melamar Bu Yayah akan terpenuhi. Dua minggu dari sekarang ia akan menyudahi empat puluh tahun masa lajang. Dua minggu dari sekarang ia akan berstatus PNS dan Menikah.

Jenazah tidaklah sama dengan bangkai. Manusia macam apa yang tega memasukkan dua jenazah dalam satu lubang—ketika masih banyak lubang tersisa yang mampu menampung mereka. Sejahat apa pun perbuatan manusia ketika hidup, siapalah kita yang berhak menghakimi mereka.

Akhirnya ia memutuskan untuk menuruti permintaan Pak Togog, si buruk rupa dari dunia pewayangan. Pak Togog lantas menepuk-nepuk bahu Pak Tresna sambil mengucapkan terima kasih dan puja-puji. Tepukan itu sejenis basa-basi para birokrat militer yang ingin menunjukkan kekuasaan mereka dan menekan bawahannya dengan cara yang halus. Semenjak bekerja di TPU Sirnaraga Pak Tresna terbiasa dengan tepukan-tepukan yang mengayomi sekaligus menindas itu.

Malam itu juga Pak Tresna angkat pacul. Pak Togog menyuruhnya bekerja sendiri. Ini adalah misi rahasia dengan kode Burung Hantu, bisiknya. Pak Tresna mengangguk iya-iya mendengar pesan atasan yang mantan tentara. Tapi, langit enggan meluluskan proyek itu. Hujan mengguyur deras sehingga Pak Tresna berkali-kali tergelincir di atas bekas galian tanah yang buyar. Dua jenazah pencopet binal itu tergeletak di samping lubang. Pak Tresna tidak tega melihat liang yang berukuran single itu, ukuran satu orang. Maka ia turun untuk melebarkan sedikit. Tiba-tiba petir menyambar ke arah pemakaman. Pak Tresna jatuh tersentak. Pandangannya buram. Air pecah membasahi wajah dan tubuhnya. Tak terduga, tanah di atasnya longsor dan menyeret kedua jenazah seperti banjir bandang. Pak Tresna terbaring kaku ditimpa longsoran itu. Ia berteriak, tapi suaranya kalah oleh guruh hujan. Ia berusaha bangkit dengan menggeser dua tubuh yang menimpanya. Tubuh itu bergeming. Air terus mengalir membawa serta muatannya. Tubuh Pak Tresna telah terendam. Ia megap-megap. Napasnya patah-patah. Air dan tanah menyumpal mulutnya. Melaju kencang ke paru-paru.

Di warung depan TPU, Pak Togog sedang asyik menyantap pisang goreng sambil mencolek-colek pantat Bu Yayah dengan genit.


Jakarta, November 2009.

*kisah penjual peti mati diambil dari cerpen “Obral Peti Mati” dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala.

No comments:

Post a Comment