Wednesday, June 24, 2009

Perempuan itu Bernama Ayu

Namaku Ayu. Tapi bukan berasal dari Ida Ayu. Aku tidak berasal dari kasta Brahmana atau pun Satria, aku adalah seorang Sudra. Anda tidak perlu bertanya tentang nama asliku, seperti yang tercatat dalam akte kelahiran. Ayu adalah nama panggilan yang diberikan kedua orang tuaku sejak kecil. Aku senang dipanggil Ayu karena ketika orang lain menyebut namaku itu aku merasa menjadi seorang Ida Ayu. Oleh sebab itu, jika suatu saat Anda bertemu denganku, panggillah aku Ayu.

***

Sudah seminggu ini Ayah terbaring lemas di tempat tidur. Ibu terus menemaninya sepanjang hari. Menyuapinya makan, minum obat, membasuh tubuhnya dengan handuk hangat sebagai pengganti mandi, bahkan mengurusi masalah buang air. Ayah tidak dapat beranjak dari tempat tidur karena kedua kakinya telah diamputasi. Ia mengidap penyakit kencing manis. Penyakit itu telah menggerogoti kedua kakinya, hanya menyisakan kaki sebatas dengkul. Akan tetapi, kaki tanpa betis dan telapak kaki apakah masih dapat disebut kaki? Atau ayah harus disebut hanya memiliki paha, bukan kaki. Entahlah. Yang pasti, tiadanya uang untuk pengobatan membuat ayah harus merelakan kakinya dan kini ia harus terkapar di tempat tidur karena ketiadaan kursi roda.

Demi menjaga ayah, ibu meninggalkan pekerjaannya menjual bunga dan sesaji di Pasar Sesetan, tepatnya di pinggir jalan di depan Pasar Sesetan. Oleh sebab itu, aku harus ekstra bekerja untuk mendapatkan uang. Bagus, Adik laki-lakiku yang masih bersekolah di kelas 4 SD belum bisa mencari uang. Ya, tentu saja, aku dan ibu tidak mungkin membiarkan atau mengizinkannya bekerja. Tugasnya hanyalah belajar dan membantu pekerjaan di rumah. Urusan uang biarlah menjadi tugas pokokku sementara ini.

Aku mulai bekerja sejak duduk di bangku SMP, tepatnya kelas 1. Ketika itu Ayah sudah mulai mengidap kencing manis sehingga aku memutuskan turut membantu ibu berjualan bunga, sesaji, dan perlengkapan sembahyang di pasar. Akan tetapi, sejak kedua kaki ayah diamputasi, usaha dagang kami sudah tamat. Ibu tidak memiliki modal lagi untuk membeli barang dagangan dan membayar uang pungutan di pasar. Uang yang selama ini kami tabung habis untuk membeli obat. Biaya sekolahku dan Bagus pun tak jelas lagi nasibnya.

Oleh sebab itu, aku tertarik dengan ajakan seorang kawan perempuanku, yang juga merupakan tetangga sebelah rumahku. Ia mengajakku bekerja di Pantai Kuta sebagai tukang pijat untuk para turis yang gemar berjemur di sepanjang pantai. Menurut temanku itu, yang bernama Sekar, para turis bule suka memberi uang lebih jika pemijatnya adalah gadis muda yang cantik. Menurutnya, aku cukup cantik dan bisa menghasilkan uang lebih jika bekerja di Kuta. Apalagi bulan-bulan di pertengahan tahun begini adalah masa ramai-ramainya wisatawan asing maupun domestik berwisata ke Bali. Kesempatanku mendapat uang terbuka lebar. Uang untuk pengobatan ayah, biaya makan, dan sekolah.

Hari ini adalah hari minggu. Setelah sembahyang dan meletakkan sesaji di Pura Desa aku lantas menuju rumah sekar. Aku selalu sembahyang ke Pura Desa karena keluargaku tidak memiliki pura sendiri. Kami tidak mampu membeli Pura karena harga arcanya saja bisa mencapai jutaan. Masih dengan kebaya dan kain aku mampir ke rumah Sekar. Ia juga baru sembahyang, tapi ia tidak perlu sembahyang keluar karena rumahnya memiliki Pura sendiri. Dengan bija yang masih menempel di keningnya itu, aku baru menyadari bahwa Sekar memang cantik. Hidungnya mungil namun bibirnya penuh dan memerah. Matanya yang besar seolah-olah mampu menyihir orang lain untuk memenuhi segala permintaannya.

“Hai Ayu, cepat juga kamu datang.” Ia menyapa menyambut kedatanganku.

“Iya, aku tidak sabar ingin mendapatkan uang.” Jawabku sambil menggoyangkan dompet yang kukaitkan di selendang yang terikat di pinggangku.

“Kalau begitu, marilah kita ke kamarku. Ibuku sudah berangkat ke pasar.” Ya, ibu Sekar juga berjualan bunga di Pasar Sesetan seperti ibuku, tapi ia memiliki kios sendiri—tidak sekadar menggerai meja dagangan di depan pasar.

Baru kali ini aku masuk ke kamar Sekar. Walaupun rumah kami bersebelahan, aku jarang sekali ke rumahnya karena kami memang tidak akrab. Oleh sebab itu, aku merasa beruntung karena ia mau membantuku mencari pekerjaan. Begitu masuk kamar, harum bunga-bungaan menyebar hingga ke dalam diriku. Kamar Sekar sangat menyenangkan. Ia memiliki banyak kebaya yang menumpuk di lemari yang tak berpintu. Aku dapat melihatnya dengan jelas, kebaya itu berwarni-warni, sama semaraknya dengan selendangnya yang bergantung di sudut kamar. Mejanya dipenuhi dengan lilin-lilin aromaterapi dan alat rias yang lengkap.

Aku menyimpulkan bahwa Sekar sukses dalam pekerjaannya. Walaupun rumahnya sama kecilnya denganku, isi kamarnya sangat luar biasa. Ia memiliki televisi yang sangat besar lengkap dengan peralatan elektronik pemutar film dan lagu. Ia juga memiliki banyak pakaian yang bagus. Aku sempat iri melihat kain-kainnya yang indah. Begitu pula gaun-gaunnya yang indah dan sehalus sutera. Di tengah kekagumanku terhadap isi kamarnya, Sekar menyentakku.

“Mari kita bersiap untuk kerja. Bukalah kebayamu.” Perintahnya.

“Hah? Apa, bukankah katamu kita bekerja dengan memakai kebaya. Itu adalah ciri khas kita, berbeda dengan pemijat lainnya.” Tanyaku.

“Ya, betul. Tapi ada satu hal yang perlu kau buka.”

“Apa itu?” Tanyaku lagi keheranan.

“BH-mu. Bukalah BH-mu.” Ia menunjuk ke dadaku.

“Apa maksudmu?” Aku benar-benar terkejut sekarang.

“Itulah ciri khas yang kumaksud. Kita tidak perlu memakai BH ketika bekerja. Lagipula kita memakai kaus dalam sehingga kau tidak perlu takut dadamu akan terlihat. Kebaya kita yang berbahan samar ini hanya akan memperlihatkan kaus dalam kita. Akan tetapi, dada yang polos di balik kaus dalam itu akan terlihat alami dan sangat menggoda bagi para bule. Kau tahu kan bahwa gadis-gadis bule sepanjang Kuta seringkali tidak memakai BH. Jadi kau tidak perlu merasa canggung.” Jawabnya dengan rinci tanpa menyisakan rasa sungkan kepadaku.

“Tapi, tapi?” Aku tidak tahu harus menjawab atau bertindak apa. Penjelasannya cukup membuat kepalaku pusing. Aku bingung. Apakah pekerjaan ini layak kulakukan. Apakan benar jalan itu yang harus kuambil. Apa hubungannya antara memijat para bule itu dengan aku tidak memakai BH. Pekerjaanku adalah memijat. Yang mereka nilai tentulah enak tidaknya pijatanku. Aku bingung dengan penjelasan Sekar.

“Apakah gadis-gadis pemijat lain berbuat sama denganmu?” Akhirnya aku mencoba memahami persoalan ini.

“Tidak semuanya, hanya beberapa. Dan kami sangat laris diperebutkan para bule itu. Tenang saja, kau tidak perlu malu. Kan ada aku.” Hiburnya sambil tersenyum.

“Aku mau pulang. Besok akan kuputuskan apakah ikut bekerja denganmu.” Aku mengambil keputusan untuk berpikir masak dahulu.

“Baik, kutunggu kau besok.” Ia menjawab dengan penuh keyakinan bahwa aku akan kembali esok pagi.

***

Namaku Ayu. Tapi bukan berasal dari Ida Ayu. Aku tidak berasal dari kasta Brahmana atau pun Satria, aku adalah seorang Sudra. Anda tidak perlu bertanya tentang nama asliku, seperti yang tercatat dalam akte kelahiran. Ayu adalah nama panggilan yang diberikan kedua orang tuaku sejak kecil. Aku senang dipanggil Ayu karena ketika orang lain menyebut namaku itu aku merasa menjadi seorang Ida Ayu. Oleh sebab itu, jika suatu saat Anda bertemu denganku, panggillah aku Ayu.

Aku akan memijat Anda dengan pijatan yang tidak akan terlupakan kenikmatannya. Pijatanku tidak akan Anda temukan pada gadis-gadis pemijat lainnya. Aku memijat Anda dengan pelayanan ekstra. Anda dapat mengerti maksudku jika bertemu denganku. Di balik kebayaku yang menerawang, Anda dapat membingkai buah dada yang polos di balik kaus dalamku. Kita dapat melanjutkan pijatanku di kamar hotel Anda. Saya bersedia setiap saat. Tapi jangan berburuk sangka kepada saya. Saya tidak hendak menjual diri. Saya hanya memijat untuk sekadar mencari uang untuk mengumpulkan biaya Ngaben untuk ayahku yang sudah meninggal lima tahun lalu. Ini adalah tahun terakhir, batas waktu penyelenggaraan Ngaben ayahku. Di desaku, keluarga yang akan melangsungkan Ngaben hanya tiga, termasuk keluargaku, sehingga walaupun kami hanya melaksanakan satu Ngaben untuk tiga arwah, biaya yang diperlukan masihlah sangat besar. Maka maklumilah aku jika harus bekerja keras menghasilkan uang.

Jika Anda melihatku di jalan suatu hari, panggilah aku Ayu.

Aku bekerja untuk membiayai Ngaben ayahku.


Jakarta, Juni 2009.

Friday, May 22, 2009

Gugur-gugur Sakura

Dia hadir dalam kata. Kata yang tidak akan pernah kau temukan dalam kamus mana pun. Kata yang tidak akan kau dapati maknanya dalam bahasa apa pun. Dia terlukis dalam kata yang kau cari di sela-sela lembaran hari. Dia gugur dalam haru yang gusar bersama daun-daun gemintang kuning. Berkelana dalam bunga-bunga salju yang semerbak dikayuh angin. Bersemayam dalam impian Sakura yang bermekaran di sepanjang taman. Dia tertawa bersama hangat pagi yang berkilauan. Dia hadir dalam mantra para tukang sihir. Dia lahir dalam sebuah mitos. Cinta.


12 September 2006, Gedung Enam, Kampus Sastra.

Aduh, terlambat lagi, telat!!! Selalu begitu, kenapa sih setiap terlambat bangun, kereta juga mendukung lelet. Terlambat lagi deh kuliahnya! Kuliah drama yang fantastis ini.

Tok, tok!

“Pagi, Mas. Maaf terlambat.”

Kursi paling depan langsung kuhajar. Sebenarnya enggan juga duduk di depan begini. Tapi berhubung terlambat, apa boleh buat. Kursi di belakang sudah penuh. Penuh dengan orang-orang yang percaya pada sebuah mitos. Wahai mahasiswa sekalian: Posisi Menentukan Prestasi! Setuju! Aku dan teman-teman termasuk ke dalam sekte orang-orang itu.

Hari ini kami mempelajari sebuah naskah yang konon sangat terkenal. Waiting for Godot. Karya Si, ehm, ehm. Lupa, maaf. Tapi, bagi segenap anak sastra, pasti akrab atau paling tidak pernah mendengar karya fenomenal ini. Drama yang berkisah tentang orang-orang yang sedang menunggu entah apa. Aku sulit memahami karya absurd ini.

Sama seperti absurdnya pikiranku ketika hadir suara ketukan di pintu.


5 Oktober 2006, Perpustakaan, Kampus Sastra.

“Kamu gimana, sih! Ini namanya awalan me-. Dari awalan ini bisa muncul awalan lainnya, misalnya mem-, men-, meng-. Terus bisa juga digabung dengan akhiran, menjadi me-kan, meng-kan, dan lain-lain. Jadi, kata baca kalau ditambah awalan me- adalah membaca. Ngerti gak?”

“Lalu kata tidur jadi memtidur?”

“Oke, kita ulang lagi!”

Memang sulit mempelajari sebuah bahasa, apalagi persoalan gramatikal. Inilah kasusnya. Persoalan imbuhan selalu dipertanyakan oleh orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Tapi, aku senang melihat wajahnya yang bingung itu. Ia terpekur mengamati tulisan-tulisan di depannya. Aku ingin tertawa melihat ulahnya yang sedikit-sedikit menggaruk kepala. Bergumam sendiri seolah berbicara pada sahabat fantasi yang biasa dipunyai anak-anak. Tapi, perutku sudah lapar, merengek-rengek minta makan. Maka kutinggal saja dia.

“Aku duluan ya, mau makan dulu. Teman-teman sudah ke kantin. Nanti kamu nyusul, ya!”

“Oke!” Jawabnya singkat. Lantas kembali pada kertas-kertas yang berserakan itu.

Dia tahu bahwa aku akan menunggunya ketika senja menyimpan matahari dalam saku. Menguncinya dengan temaram yang mencuri-curi kelam. Aku menantinya di sudut ini. Aku dan dia selalu menghabiskan hari di sini. Orang-orang tidak pernah menyadari kebersamaan kami. Ketika aku dan dia mencuri nafas di antara rak-rak tua itu. Orang-orang tidak pernah menyaksikan kami. Ketika aku dan dia berbagi sesak karena debu-debu buku usang itu. Mereka tidak tahu. Ketika kami bercumbu dan mengulum cinta dalam kejaran waktu dan hasrat.


26 November 2006, Café La Nuit, Jakarta.

Happy birthday, selamat ulang tahun!”

Aku memberinya sebuah kue coklat kecil dengan lilin bertanda usianya. Dia meniupnya dalam pejam mata. Lantas menciumku, tepat di bibir. Rasa manis bercampur dengan gugup yang menyerang.

“Terima kasih. Aku senang sekali.”

Dia mencium lagi pada pipiku. Aku diam tersipu. Wajahnya berkilau dalam redup. Matanya yang bulat berbinar dalam bilasan cahaya. Aku menyalahkan lilin-lilin yang menjebak aku dalam fantasi. Mendamba dirinya sepenuh hati. Sementara itu, samar terdengar bisik-bisik dalam sepi malam itu. Aku tidak peduli kata mereka. Orang-orang yang sibuk mencampuri urusan orang lain, sedangkan balita mereka di rumah menyusu jempol kaki baby sitter. Biar mereka bicara semaunya.

“Ih, tidak tahu malu, tidak bermoral! Di depan umum begitu-begitu!”

Malam itu aku tidak pulang ke rumah. Aku beralasan menginap di rumah teman pada kedua orang tua yang terpaksa menerima dengan sungut di dada. Malam itu aku tidur dalam pelukannya. Dalam hangat yang kini tak akan kau temukan di balik punggung para suami yang pulang tengah malam.


27 desember 2006, Bandara Soekarno-Hatta.

“Kamu akan nunggu aku, kan? Tunggu aku, ya. Janji?”

Aku mengutuki hari yang kuyup karena hujan itu. Seperti aku mengutuki air yang terus menetes dari pelupuk. Kepulangannya memang telah kuterima sejak awal, seperti aku menerima kehadirannya dalam sejenak hidupku. Tapi aku tidak pernah siap melepaskannya. Merelakan tangan itu bermain dengan hampa. Aku sangat mencintainya.

“Iya. Aku tunggu kamu. Ingat tempat yang aku bilang. ”


10 April 2009, Yeouido Park, Korea Selatan.

Sudah sejam aku mengurai waktu dalam bimbang. Datang, tidak, datang, tidak. Sudah bosan aku menghitung setiap helai mahkota Sakura yang gugur di sepanjang pandangan. Bunga-bunga yang malang. Mereka harus membayar jasa alam yang memberikan hangat, sebagai ganti dari dingin yang membeku, dengan merelakan satu demi satu diri mereka gugur dalam tawa para pengunjung. Orang-orang yang menyaksikan keindahan gugur Sakura. Tidak ada yang lebih indah dari kematian.

Bunga-bunga itu pun dikutuk seperti aku. Merana dalam kesendirian. Mereka tidak pernah mendapatkan hangat dedaunan hijau yang menyempurnakan harmoni alam. Begitu pula diriku. Tahun-tahun kulewati dengan merangkai mimpi bersama ia yang tak kunjung datang. Tangis pun terasa begitu dekat. Sedekat tubuhnya yang kini berdiri tepat di depanku.

“Kau masih tetap cantik. Aku sangat merindukanmu.” Pelukku dalam harum tubuhnya.

“Maaf. Aku sudah menikah…”

“Apa?”Aku bahkan tak mampu melanjutkan tanya.

“Pria itu begitu baik. Ia memahami kekuranganku, menerimaku apa adanya. Maafkan aku.”

“Sedangkan aku? Di mana cinta itu? Aku dan kau adalah satu. Kita saling mengisi, bukan?”

“Kita begitu sama. Kau adalah aku. Kita tidak saling mengisi. Kita mengingkari diri sendiri.”

“Bagaimana mungkin. Cinta itu tidak mungkin lenyap begitu saja. Kau keliru. Aku telah menepati janji. Aku menyusulmu. Apakah perbedaan bangsa dan agama menjadi sebabnya? Aku tidak pernah mempermasalahkannya. Lihat, bahkan bahasa Indonesiamu begitu baik sekarang. Kau masih mencintai aku, kan?”

“Bukan. Kau tidak akan menemukan dirimu dalam diriku. Dengan begitu kau hanya akan mendapat bahagia yang semu, sementara saja.”

Aku tidak tahu lagi apa yang ia katakan. Aku seperti melayang di dimensi lain. Tiba-tiba aku sudah berada di samping jendela pesawat Korean Air, pulang menuju asal. Aku lupa apa saja yang telah dikatakannya. Yang aku ingat ia masih tetap cantik. Ia masih mengikat seluruh rambutnya ke atas sehingga lehernya yang putih mulus seperti menantang hasrat yang telah kujaga selama ini. Seolah berkata: “Lihat, aku begitu cantik. Kulitku halus dan putih. Mataku bulat dipadu hidung yang mungil dan bibir yang melengkung indah. Kau, kau adalah Si Itik Buruk Rupa. Lihat kulitmu yang kasar. Wajahmu tidak mewakili keindahan yang seharusnya engkau miliki! Kau tidak pantas untukku.

Tapi, bukan itu yang menjadi soal. Andaikan ia menolak karena penampilanku yang buruk. Andaikan ia menyebut agama, bangsa, atau apa pun. Kini aku pulang begitu saja. Dengan setumpuk rencana yang tersusun rapi untuk digenapi. Ah, semuanya terasa begitu cepat. Kehadirannya begitu singkat, tapi menyisihkan suka, duka, luka, yang temurun.


12 September 2006, Gedung Enam, Kampus Sastra.

Tok, tok!

“Pagi, Mas. Maaf terlambat.”

“Aduh, Nona Dewi ini. Kenapa selalu terlambat kuliah saya?”

“Maaf Mas Ibnu, keretanya terlambat, katanya ada gangguan listrik di Manggarai.”

“Oh, jadi setiap Selasa ada gangguan listrik, ya!”

Hahahaa, seisi kelas pecah karena tawa.

“Ya sudah, sebelumnya saya ingin memberitahukan bahwa kita akan kedatangan mahasiswa pertukaran dari negara lain. Namanya…”

Tok, tok, tok!

“Nah, itu dia.”





Jakarta, April 2009.


*teruntuk Christina [Lee Hyun Jee] yang telah membingkai gugur sakura dari musim yang bersemi di Seoul.

Dingin [dimuat dalam Jurnal Nasional-8 Februari 2009]

7 Desember 2008, 7.30 a.m., Incheon International Airport.

Aku tersentak bangun ketika suara kapten pilot meraung lewat headset yang terpasang di telinga. Aku menggerutu dalam hati, lupa mencopot benda itu sebab terlena dibuai kantuk. Kapten memberitahu bahwa 30 menit lagi pesawat mendarat di Incheon dan suhu udara kini adalah minus empat derajat Celcius.

Debaran jantungku menjadi kacau, bukan karena getaran pesawat yang menurun dan hentakan roda kecilnya ke aspal, melainkan getaran yang lain, berbeda, terasa asing. Itu bertambah parah ketika aku harus lama mengantri untuk pemeriksaan imigrasi. Orang bule itu mungkin bermasalah. Aku pindah jalur antrian. Pasangan suami-istri dari Indonesia dengan anak yang berjejer, lima orang kecil-kecil.

Aku? Aku! Sendiri...

Segera kucari ia di sela-sela lembaran tiket dan paspor. Tak ada. Ia menguap. Kucari orang yang merokok, siapa tahu ia di sana. Nihil. Mana mungkin ada orang merokok di ruangan ini. Hhh... kucari lagi pada anak demi anak tangga eskalator yang menurun, namun semakin ke bawah ia semakin menghilang. Di antara koper-koper tergeletak belum diakui pemiliknya, terus kuintai ia.

Ah, ia menghilang lagi. Menguap.

Bandara yang lapang ini seolah mengejek kesendirianku. Aku tersesat dalam kelapangan ini. Ketika kulihat pintu keluar, lantas aku lari. Berharap dapat mengejarnya.

Huiss....

Angin yang membekukan menerpa wajah. Kontan hidungku sesak dan kepala pening. Tubuh gemetar tak terduga. Aku terhuyung-huyung melawannya. Ia menjadi udara yang melayang bebas, menembus hatiku.




7 Desember 2008, 7.45 p.m., Myeongdong Shopping Street.

Ia menjadi uap yang menyeruap dari kepekatan Espresso. Aku tergesa-gesa menghirupnya. Terlambat. Ia menyelusup lewat jendela yang dibuka wanita itu. Yang sedari tadi tak henti mengembuskan asap lewat hidung dan mulut. Asap-asap itu berebut menyusup ke dalam mantel dan syalnya yang tersampir di kursi. Bahkan ada yang meluncur turun melesat ke dalam boots-nya. Ah, aku lengah sehingga terlupa ke mana ia pergi.

Dari balik jendela kaca itu, ia menantang. Beribu-ribu berterbangan ke sana ke mari dikayuh angin. Aku tahu ia sedang menggodaku. Lantas aku bangkit hendak menangkapnya. Terlambat lagi. Ketika aku turun dan menghajar pintu demi memeluknya, ia lari menjauh. Ia tinggal putih yang menghiasi jalan dan terpal-terpal yang menutupi dagangan orang. Ia tinggal basah yang membuat aku berkali-kali tergelincir hampir terjatuh. Aku pulang dalam kuyup. Menyusuri butik-butik, toko kosmetik, kedai kopi, dan restoran, Korean dan junkfood, di Myeongdong. Menuruni stasiun metro tembus ke Lotte Department Store. Menuju hotelku.



8 Desember 2008, 8.25 a.m., Room 2925 President Hotel.

Di antara udara yang mengembun di balik kaca, kubelai ia. Tapi, ia lenyap bersama usapan jemari. Kubantu dengan embusan nafasku. Ia mencoba ada. Lalu tiada. Kupindahkan pandangan lebih jauh. Ke arah gunung-gemunung di ujung sana. Terlalu jauh. Tak tampak. Lalu kulihat ia di atap gedung-gedung itu. Ada jejak-jejaknya. Sisa perburuan semalam. Namun jejak-jejak itu surut bersama angin. Bersama hangat matahari yang malu-malu. Dan buldoser pun menguruknya bersama pasir di balik gedung City Hall.



9 Desember 2008, 11.17 a.m., N Seoul Tower.

Kurogoh koin-koin yang semalam kumasukkan asal ke dalam tas. Beberapa keping 100 Won kuambil. Ternyata tak cukup untuk menggunakan teropong itu. Untung ada mesin penukar koin. Kuselipkan selembar seribuan, dua koin 500 Won berdenting. Segera kumasukkan pada sebuah teropong yang menganggur, di hadapan kaca yang bertuliskan Jeju Island 1,211.09 km.

Kupicingkan mata agar dapat memandang ia dengan jelas. Aku bingung. Berbagai arah kuamati, ia tak hadir jua. Tiba-tiba setitik cahaya berkilat menyilaukan sebelah mataku. Itu dia. Di sana. Tapi entah. Aku tak bisa membedakan mana utara-selatan, mana barat-timur. Andai pun tahu, percuma, aku asing di kota ini. Yang pasti ia tak berada di gunung Namsan ini, ia ada dalam sebuah sudut.



9 Desember 2008, 8.15 p.m., President Hotel Lobby.

Aku bertemu dengan teman lamaku, pria Korea yang pernah kuliah satu semester di kampusku. Kusebut ia dengan haraboci, kakek.

“Haraboci, apa kabar!” Teriakku sambil memeluknya erat. Kepalaku mampir di dadanya. Haraboci tambah gemuk, mungkin karena porsi makanan Korea yang extra large. Haraboci mengajak sahabatnya datang untuk dikenalkan. Maka kami menunggu di lobi. Dan ia pun datang. Langkah demi langkah...

Putih.

Ia begitu putih.

“Kenalin, namanya Panda. Dia kayak Panda kan, yang dari China.” Haraboci memulai dengan tawa lepas. Kami bersalaman. Panda. Putih...

Ani, Lee Pan Jin”, ia meralat.

Aku resah. Kami belum berbicara. Ia tidak bisa bahasa Inggris, terlebih Indonesia. Ia terus bercakap dengan Haraboci. Tiba-tiba menoleh padaku dan berkata, “Cantik!”

Aku beku dalam diam. Ditemani angin yang terus bergulung. Menatapnya dalam putih. Hari ini ia tidak menjadi uap ataupun kapas-kapas dingin yang berterbangan.

Ia ada.


10 Desember 2008, 9.45 p.m., Room 2925 President Hotel.

Ia tinggal dalam kata. Dalam huruf-huruf neon yang berbaris di puncak gedung Samsung itu. Ia ada dalam setiap titik yang membentuk kata itu. Happy Forever. Aku bermalam dengan kata-katanya.



11 Desember 2008, 10.05 a.m., President Hotel Lobby.

“Maaf Haraboci, udah nungggu, kamu udah sarapan?”

“Belum, nanti aja. Ayo pergi!” Ajak Haraboci, menarik tanganku. Udara pagi ini tak terlalu dingin, matahari lebih terik daripada beberapa hari lalu. Kami turun ke stasiun metro City Hall. Haraboci sempat salah jalan. Aku menertawainya.

“Masa’ orang Korea gak tahu jalan, tinggal di kampung, ya?” lagi aku meledek tempat tinggalnya yang lumayan jauh dari Downtown Seoul (Walaupun kuakui stasiun ini memang rumit karena merupakan stasiun transfer, tempat penumpang ganti jalur kereta).

“Yangjae itu kalau di Jakarta, Pondok Indah, tempat rumah orang kaya.”

Jawabnya nyengir dengan bahasa Indonesia khas logat Korea.

Kami naik kereta jalur 1. Dari City Hall menuju Seoul Station lalu Namyeong dan sampailah di Yongsan. Menurut Haraboci, harga barang elektronik di sini lebih murah.

“Haraboci udah lapar belum, mau makan?” tanyaku usai belanja.

“Udah kenyang, tadi udah merokok dua batang,” Haraboci menjawab dengan konyol. Aku tertawa. Lagi-lagi lelucon itu, rokok bisa membuat perut kenyang.

Pun begitu kami bersantap ria di sebuah restoran Korea. Haraboci memesan mi pedas, mi dingin, dan kimbab. Jatahku adalah mi dingin, naengmyon. Seharusnya mi ini dinikmati saat musim panas, tapi Haraboci memaksa aku mencobanya. Mi ini seperti bihun, tapi berwarna hijau. Kuahnya dicampur dengan remah-remah es batu.

Kubalik serpih demi serpih es batu itu, kusibak, ia tak ada. Ah, di mana ia, aku sangat merindukannya. Seharusnya ia selalu ada di dekatku, walaupun ia suka kelana ke entah. Aku tahu ia ada.

“Haraboci, teman kamu kok gak ikut?”

“Panda? Dia kerja pulang malam.”

.....



12 Desember 2008, 11.20 a.m., KAL Limousine Stop at Lotte Hotel.

Dia menghilang.

Apakah ia menguap habis mengembun luruh mencair kuyup. Dalam kata pun tak kudapati ia.

Ataukah karena ia menjadi. Mewujud.

Aku menyesal telah menolak pelukannya. Kukira kami masih akan bertemu. Ternyata ia hanya memberi sehari. Andaikan ia kuraih saat itu mungkin ia tak akan lepas lagi dan mengembara bebas. Mungkin ia akan menyusup pada tubuhku dan tinggal di dalam darah. Pulang bersamaku. Tapi, kini...

Dadaku sesak, hatiku panas...

Aku ingin dingin itu!

Pun salju tak akan singgah di balik kaca kamarku...



Jakarta, Januari 2009.