Wednesday, June 24, 2009

Perempuan itu Bernama Ayu

Namaku Ayu. Tapi bukan berasal dari Ida Ayu. Aku tidak berasal dari kasta Brahmana atau pun Satria, aku adalah seorang Sudra. Anda tidak perlu bertanya tentang nama asliku, seperti yang tercatat dalam akte kelahiran. Ayu adalah nama panggilan yang diberikan kedua orang tuaku sejak kecil. Aku senang dipanggil Ayu karena ketika orang lain menyebut namaku itu aku merasa menjadi seorang Ida Ayu. Oleh sebab itu, jika suatu saat Anda bertemu denganku, panggillah aku Ayu.

***

Sudah seminggu ini Ayah terbaring lemas di tempat tidur. Ibu terus menemaninya sepanjang hari. Menyuapinya makan, minum obat, membasuh tubuhnya dengan handuk hangat sebagai pengganti mandi, bahkan mengurusi masalah buang air. Ayah tidak dapat beranjak dari tempat tidur karena kedua kakinya telah diamputasi. Ia mengidap penyakit kencing manis. Penyakit itu telah menggerogoti kedua kakinya, hanya menyisakan kaki sebatas dengkul. Akan tetapi, kaki tanpa betis dan telapak kaki apakah masih dapat disebut kaki? Atau ayah harus disebut hanya memiliki paha, bukan kaki. Entahlah. Yang pasti, tiadanya uang untuk pengobatan membuat ayah harus merelakan kakinya dan kini ia harus terkapar di tempat tidur karena ketiadaan kursi roda.

Demi menjaga ayah, ibu meninggalkan pekerjaannya menjual bunga dan sesaji di Pasar Sesetan, tepatnya di pinggir jalan di depan Pasar Sesetan. Oleh sebab itu, aku harus ekstra bekerja untuk mendapatkan uang. Bagus, Adik laki-lakiku yang masih bersekolah di kelas 4 SD belum bisa mencari uang. Ya, tentu saja, aku dan ibu tidak mungkin membiarkan atau mengizinkannya bekerja. Tugasnya hanyalah belajar dan membantu pekerjaan di rumah. Urusan uang biarlah menjadi tugas pokokku sementara ini.

Aku mulai bekerja sejak duduk di bangku SMP, tepatnya kelas 1. Ketika itu Ayah sudah mulai mengidap kencing manis sehingga aku memutuskan turut membantu ibu berjualan bunga, sesaji, dan perlengkapan sembahyang di pasar. Akan tetapi, sejak kedua kaki ayah diamputasi, usaha dagang kami sudah tamat. Ibu tidak memiliki modal lagi untuk membeli barang dagangan dan membayar uang pungutan di pasar. Uang yang selama ini kami tabung habis untuk membeli obat. Biaya sekolahku dan Bagus pun tak jelas lagi nasibnya.

Oleh sebab itu, aku tertarik dengan ajakan seorang kawan perempuanku, yang juga merupakan tetangga sebelah rumahku. Ia mengajakku bekerja di Pantai Kuta sebagai tukang pijat untuk para turis yang gemar berjemur di sepanjang pantai. Menurut temanku itu, yang bernama Sekar, para turis bule suka memberi uang lebih jika pemijatnya adalah gadis muda yang cantik. Menurutnya, aku cukup cantik dan bisa menghasilkan uang lebih jika bekerja di Kuta. Apalagi bulan-bulan di pertengahan tahun begini adalah masa ramai-ramainya wisatawan asing maupun domestik berwisata ke Bali. Kesempatanku mendapat uang terbuka lebar. Uang untuk pengobatan ayah, biaya makan, dan sekolah.

Hari ini adalah hari minggu. Setelah sembahyang dan meletakkan sesaji di Pura Desa aku lantas menuju rumah sekar. Aku selalu sembahyang ke Pura Desa karena keluargaku tidak memiliki pura sendiri. Kami tidak mampu membeli Pura karena harga arcanya saja bisa mencapai jutaan. Masih dengan kebaya dan kain aku mampir ke rumah Sekar. Ia juga baru sembahyang, tapi ia tidak perlu sembahyang keluar karena rumahnya memiliki Pura sendiri. Dengan bija yang masih menempel di keningnya itu, aku baru menyadari bahwa Sekar memang cantik. Hidungnya mungil namun bibirnya penuh dan memerah. Matanya yang besar seolah-olah mampu menyihir orang lain untuk memenuhi segala permintaannya.

“Hai Ayu, cepat juga kamu datang.” Ia menyapa menyambut kedatanganku.

“Iya, aku tidak sabar ingin mendapatkan uang.” Jawabku sambil menggoyangkan dompet yang kukaitkan di selendang yang terikat di pinggangku.

“Kalau begitu, marilah kita ke kamarku. Ibuku sudah berangkat ke pasar.” Ya, ibu Sekar juga berjualan bunga di Pasar Sesetan seperti ibuku, tapi ia memiliki kios sendiri—tidak sekadar menggerai meja dagangan di depan pasar.

Baru kali ini aku masuk ke kamar Sekar. Walaupun rumah kami bersebelahan, aku jarang sekali ke rumahnya karena kami memang tidak akrab. Oleh sebab itu, aku merasa beruntung karena ia mau membantuku mencari pekerjaan. Begitu masuk kamar, harum bunga-bungaan menyebar hingga ke dalam diriku. Kamar Sekar sangat menyenangkan. Ia memiliki banyak kebaya yang menumpuk di lemari yang tak berpintu. Aku dapat melihatnya dengan jelas, kebaya itu berwarni-warni, sama semaraknya dengan selendangnya yang bergantung di sudut kamar. Mejanya dipenuhi dengan lilin-lilin aromaterapi dan alat rias yang lengkap.

Aku menyimpulkan bahwa Sekar sukses dalam pekerjaannya. Walaupun rumahnya sama kecilnya denganku, isi kamarnya sangat luar biasa. Ia memiliki televisi yang sangat besar lengkap dengan peralatan elektronik pemutar film dan lagu. Ia juga memiliki banyak pakaian yang bagus. Aku sempat iri melihat kain-kainnya yang indah. Begitu pula gaun-gaunnya yang indah dan sehalus sutera. Di tengah kekagumanku terhadap isi kamarnya, Sekar menyentakku.

“Mari kita bersiap untuk kerja. Bukalah kebayamu.” Perintahnya.

“Hah? Apa, bukankah katamu kita bekerja dengan memakai kebaya. Itu adalah ciri khas kita, berbeda dengan pemijat lainnya.” Tanyaku.

“Ya, betul. Tapi ada satu hal yang perlu kau buka.”

“Apa itu?” Tanyaku lagi keheranan.

“BH-mu. Bukalah BH-mu.” Ia menunjuk ke dadaku.

“Apa maksudmu?” Aku benar-benar terkejut sekarang.

“Itulah ciri khas yang kumaksud. Kita tidak perlu memakai BH ketika bekerja. Lagipula kita memakai kaus dalam sehingga kau tidak perlu takut dadamu akan terlihat. Kebaya kita yang berbahan samar ini hanya akan memperlihatkan kaus dalam kita. Akan tetapi, dada yang polos di balik kaus dalam itu akan terlihat alami dan sangat menggoda bagi para bule. Kau tahu kan bahwa gadis-gadis bule sepanjang Kuta seringkali tidak memakai BH. Jadi kau tidak perlu merasa canggung.” Jawabnya dengan rinci tanpa menyisakan rasa sungkan kepadaku.

“Tapi, tapi?” Aku tidak tahu harus menjawab atau bertindak apa. Penjelasannya cukup membuat kepalaku pusing. Aku bingung. Apakah pekerjaan ini layak kulakukan. Apakan benar jalan itu yang harus kuambil. Apa hubungannya antara memijat para bule itu dengan aku tidak memakai BH. Pekerjaanku adalah memijat. Yang mereka nilai tentulah enak tidaknya pijatanku. Aku bingung dengan penjelasan Sekar.

“Apakah gadis-gadis pemijat lain berbuat sama denganmu?” Akhirnya aku mencoba memahami persoalan ini.

“Tidak semuanya, hanya beberapa. Dan kami sangat laris diperebutkan para bule itu. Tenang saja, kau tidak perlu malu. Kan ada aku.” Hiburnya sambil tersenyum.

“Aku mau pulang. Besok akan kuputuskan apakah ikut bekerja denganmu.” Aku mengambil keputusan untuk berpikir masak dahulu.

“Baik, kutunggu kau besok.” Ia menjawab dengan penuh keyakinan bahwa aku akan kembali esok pagi.

***

Namaku Ayu. Tapi bukan berasal dari Ida Ayu. Aku tidak berasal dari kasta Brahmana atau pun Satria, aku adalah seorang Sudra. Anda tidak perlu bertanya tentang nama asliku, seperti yang tercatat dalam akte kelahiran. Ayu adalah nama panggilan yang diberikan kedua orang tuaku sejak kecil. Aku senang dipanggil Ayu karena ketika orang lain menyebut namaku itu aku merasa menjadi seorang Ida Ayu. Oleh sebab itu, jika suatu saat Anda bertemu denganku, panggillah aku Ayu.

Aku akan memijat Anda dengan pijatan yang tidak akan terlupakan kenikmatannya. Pijatanku tidak akan Anda temukan pada gadis-gadis pemijat lainnya. Aku memijat Anda dengan pelayanan ekstra. Anda dapat mengerti maksudku jika bertemu denganku. Di balik kebayaku yang menerawang, Anda dapat membingkai buah dada yang polos di balik kaus dalamku. Kita dapat melanjutkan pijatanku di kamar hotel Anda. Saya bersedia setiap saat. Tapi jangan berburuk sangka kepada saya. Saya tidak hendak menjual diri. Saya hanya memijat untuk sekadar mencari uang untuk mengumpulkan biaya Ngaben untuk ayahku yang sudah meninggal lima tahun lalu. Ini adalah tahun terakhir, batas waktu penyelenggaraan Ngaben ayahku. Di desaku, keluarga yang akan melangsungkan Ngaben hanya tiga, termasuk keluargaku, sehingga walaupun kami hanya melaksanakan satu Ngaben untuk tiga arwah, biaya yang diperlukan masihlah sangat besar. Maka maklumilah aku jika harus bekerja keras menghasilkan uang.

Jika Anda melihatku di jalan suatu hari, panggilah aku Ayu.

Aku bekerja untuk membiayai Ngaben ayahku.


Jakarta, Juni 2009.