Sunday, January 9, 2011

Jibran Menulis Cerpen

Nama : Jibran D. Purnomo

Profesi :

Semula itulah dua baris pertama yang diketik Jibran dalam biodata yang akan dikirimkannya bersama sebuah cerpen untuk dimuat dalam surat kabar di Jakarta. Lalu, ia menghapus dan menggantinya.

Nama : Jibran Djoko Purnomo

Profesi :

Nah, ini yang benar, pikirnya. Jibran teringat pada pesan seorang dosennya ketika kuliah dulu. Mahaguru itu bernama Bayan M. Kabayana. Guru Kabayana mengajarkan mata kuliah penulisan populer dan Jibran yang sangat ingin menjadi penulis, yang merasa mampu menulis apa pun, lantas masuk ke kelas itu dengan hati jemawa.

Hal pertama yang dikatakan Mahaguru Kabayana adalah, “kamu tidak cocok menjadi penulis. Namamu kurang mencitrakan sosok penulis berbakat yang akan sukses dan kaya raya.” Walaupun Jibran jarang mendengar tentang penulis kaya raya, kecuali seorang penulis gondrong yang novelnya diangkat menjadi layar lebar, yang juga berwajah mirip guru spiritualnya. Batinnya teriris. Ia memutuskan harus mengubah namanya yang Djoko Purnomo itu. Tentu ia belum tahu apakah harus menambah, mengurangi, atau bahkan menjumlahkan total suku kata namanya lalu membaginya sama rata menjadi nama baru.

Alangkah mulianya Mahaguru itu, simpul Jibran. Kabayana yang juga ahli semiotik menyebutkan bahwa penulis yang memiliki nama dengan tiga kata lebih baik tidak menyingkat nama tengahnya karena mereka cenderung mati muda. Ia menyebutkan penulis itu satu-satu. Jibran tak mengenalinya. Untungnya ia tidak memiliki nama tengah, tapi ia merujuk juga pada nama yang dikenalnya, Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma. Ya, mereka tidak menyingkat namanya menjadi Sapardi D. Damono dan Seno G. Ajidarma.

Dan hari itu pun ia memutuskan menambahkan Jibran di depan nama lahirnya. Berasal dari nama Kahlil Gibran yang diliriknya di toko buku. Dengan sedikit modifikasi yang kompleks, G diganti menjadi J.

Jibran melirik sekali lagi cerpen yang ditulisnya. Hmm, bagus sekali. Pembaca tidak akan menyangka bahwa sebelum menjadi penulis cerpen, Jibran melakoni berbagai profesi yang menurutnya turunan dari penulis. Ia pernah menulis teka-teki silang, walaupun lebih tepatnya merancang balok-balok naik-turun dengan pertanyaan semudah dan semenjebak mungkin. Ia pernah menjadi penulis iklan di perusahaan kecil di kota kelahirannya, penulis lepas kolom berita di koran, penulis ramalan bintang di majalah remaja, dan lain-lain. Sayangnya ia tidak bisa menulis sila-sila Pancasila karena sudah disusun puluhan tahun silam. Namun, ia tetap berkeinginan menyumbang beberapa ayat untuk Undang-undang Dasar karena beberapa tahun belakangan ini ia melihat banyaknya tambal sulam dalam UUD 1945. Dan untuk hal ini ia tidak memungut bayaran.

***

Terjunnya Jibran dalam penulisan sastra dilatarbelakangi oleh pertemuannya dengan dua orang yang sangat penting. Dua orang itu seolah-olah hadir di tengah kebimbangan dan kegamangan Jibran ketika menimbang apakah ia akan menjadi penulis puisi atau penulis cerpen atau penulis lagu. Yang terakhir ditariknya kembali karena ia sama sekali tidak mengerti tangga nada. Pertama-tama, begitu lulus dari kuliah di universitas negeri impian rakyat se-Indonesia, Jibran mengikuti sebuah kelompok kreatif penulisan yang diprakarsai seorang penulis Tanpa Nama yang Jelas. Penulis yang dipanggil Guru AS itu tentunya tidak mengambil namanya dari kartu remi—Jibran sudah menanyakannya. AS memang namanya, tetapi tak seorang pun tahu kepanjangannya. Dan guru itu seperti enggan memberi tahu nama aslinya.

Peserta kelompok kreatif penulisan itu sering kali membahas nama Guru AS Mereka membandingkannya dengan Pendekar Tanpa Nama dalam novel Nagabumi karangan Seno Gumira Ajidarma. Jibran yang terlibat dalam diskusi petang itu pun berniat membaca ulang Nagabumi demi mencari sekilat cahaya. Mungkin jawabannya terdapat dalam halaman 666, atau pada halaman penjumlahan bilangan huruf A dan S, yaitu 20, atau penjumlahan tersebut harus dikuadratkan. Beberapa peserta yang ayu menggabungkan Guru AS dan Dukun AS dalam sebuah analogi. Beberapa peserta yang tanggung keimanannya lantas memutuskan memanggil Guru AS yang sangat master dalam menulis itu sebagai Alaihi Salam. Sisanya menebak-nebak dalam hati.

Begitulah, kita kesampingkan dahulu persoalan nama yang tak terpecahkan itu. Pada suatu malam usai pelatihan penulisan dan bincang singkat dengan peserta lain, Jibran menghampiri Guru AS yang sedang merokok dan sesekali menyesap kopi hitam.

“Guru AS, aku bingung harus menulis apa.”

“Lah, kenapa bingung. Tulis, ya, tulis saja apa pun semaumu.” Saran guru itu sambil menyibak rambutnya yang penuh uban.

“Aku ingin menulis puisi, tapi tampaknya aku tidak cukup pandai merangkai kata.” Wajah Jibran memelas.

“Mudah, toh. Menulis puisi hanya membutuhkan keharuan. Pembaca akan menyukai puisimu karena keterharuan yang kau umbar.”

“Terharu?”

“Tentu saja.”

“Terlebih, orang-orang zaman sekarang sangat mudah terharu.”

Jibran pun memutuskan tidak akan menulis puisi karena ia bukan tipe orang yang mudah terharu dan pandai membuat ataupun menikmati keharuan. Lagipula rasa haru Jibran selalu timbul pada persoalan yang baginya pun kurang tepat. Ia terharu ketika Gayus Tambunan, si tukang pungut pajak yang termahsyur, tertangkap kamera menggunakan wig buruk ketika menonton pertandingan tenis yang kemudian hari mengungkap kebobrokan beberapa orang dalam istansi pemerintahan karena seharusnya Gayus mendekam di penjara. Jibran terharu dengan kenyataan bahwa betapa banyak uang yang dimiliki Gayus. Jibran lantas iri. Hal ini tentu tidak mungkin diungkapkannya dalam puisi, bukan.

Ia juga tidak mungkin menulis puisi tentang keharuannya pada Ariel yang sedang disidang untuk kasus video porno. Ia sangat terharu sekaligus iri karena Ariel berhasil menarik gadis-gadis cantik, bahkan merekam keahlian mereka di tempat tidur. Tentu Jibran ingin memiliki video pribadi semacam itu agar bisa ditonton ulang ketika bosan, membaca koran, sebelum tidur, dan barangkali sebelum berangkat kerja untuk menambah semangat.

Kemudian, ia mengingat salah satu penulis yang sangat pandai membuat keharuan, bahkan hanya dari sepotong celana. Andaikan aku bisa memanfaatkan sepatu dan membuat pembaca terharu, pikir Jibran. Ia juga salut pada seorang penulis yang bisa mencintai dengan sederhana dan yang bisa menggunting senja untuk pacarnya. Jibran sangat ingin menulis tentang seorang wanita yang berbibir seperti sosis. Ah, begitu banyak yang diinginkannya.

Jibran hanya mampu menghadiri pelatihan kreatif itu tiga kali. Ia merasa putus asa karena ternyata ia tidak memiliki bakat menulis puisi yang harusnya mengharukan. Lalu, ia gonta-ganti mencari pekerjaan sebagai penulis ini-itu, seperti yang telah diungkapkan di atas. Hingga suatu hari, ia rindu pulang ke kota kelahirannya di Semarang. Dalam perjalanannya di kereta, ia bertemu dengan seorang pria gondrong yang menamai dirinya Guru CN Jibran heran mengapa orang-orang yang ditemuinya selalu menggunakan nama inisial. Apakah mereka semacam pelaku kriminal yang sering muncul di koran-koran dengan berbagai nama, JP, DP, NI, dan lain-lain. Pria yang ternyata juga berkumis dan bercambang itu dengan ramah memulai pembicaraan. Ia mengaku sebagai pengembara yang sedang mencari ilham karena hidupnya dilanda kepenatan berkepanjangan. Oh, betapa senangnya Jibran bertemu dengan Guru nyentrik yang senasib dengannya, sama-sama mencari ilham.

Pria itu mengingatkan Jibran pada seorang artis yang heboh bercerai dengan istrinya, Ahmad Dani. Ahmad Dani pernah menyampaikan pada sebuah tayangan infotaiment bahwa ia ingin mengamalkan sunah rasul dengan memiliki cambang.

Mulut Jibral gatal ingin mempertanyakan soal cambang nan lebat itu.

“Apakah Guru sudah lama tidak bercukur karena mengembara?”

“Oh, tentu tidak. Aku suka dengan cambangku, mirip Chuck Norris, bukan?” Jibran ingin tertawa. Tentu ia mengenal Chuck Norris. Bintang yang satu ini filmnya selalu diputar berulang-ulang, mengalahkan film penyerangan G 30 S PKI dan film hantu Suzanna.

“Tahukah kau, Nak?” Jibran agak meringis dipanggil Nak.

“Cambang Norris berhasil mengalahkan Mike Tyson dalam satu ronde saja.” Oh, Jibran tidak pernah mendengar hal itu. Ia juga sangat mengidolakan Mike Tyson yang hobi menggigit telinga lawannya. Ia curiga, jangan-jangan Chuck Norris juga mengalahkan Michael Jordan dalam pertandingan basket.

“Bahkan, pada setiap sel dalam tubuh Chuck Norris memiliki cambangnya masing-masing.”

***

Jibran batal pulang kampung, ia mencium tangan Guru CN dan langsung turun di Stasiun Cirebon. Ia menuju loket dan mengantre untuk mendapatkan tiket Gumarang kembali ke Jakarta. Sesampainya di rumah sewanya di kawasan Pasar Senen, ia menyalakan komputer. Ia memutuskan untuk menulis sebuah cerita pendek yang mengisahkan napak tilas pertemuan dengan dua guru sakti itu: Guru AS yang memberinya inspirasi tentang perlunya keharuan dalam sebuah puisi yang mengantarnya pada keputusan tidak menulis puisi dan kebuntuan ilham sehingga ia dapat bertemu dengan guru yang lain, yaitu Guru CN yang mengamalkan prinsip hidup Chuck Norris dan bersedia menjadi guru spiritual Jibran. Jibran merasa bangga memiliki guru spiritual, ia merasa seperti artis-artis yang mondar-mandir di televisi. Ia bahkan mempertimbangkan untuk memanjangkan rambut dan memelihara cambang.

Aku harus tampil seperti penulis sejati, putusnya. Dan untuk kesekian kalinya ia mencantumkan “penulis” sebagai profesi.

Jakarta, 10 Januari 2011




Friday, August 27, 2010

Dorma Sijumle

Tak seorang pun di dalam Colt itu mengetahui bahwa Takkas membawa istrinya di dalam tas ranselnya. Tas yang dipeluknya sepanjang perjalanan. Dua wanita di sebelah Takkas terlelap dengan mulut mangap. Takkas tak bisa tidur. Matanya menyusuri barisan pohon pinus di sepanjang rute menuju Parapat. Jalan yang berkelok-kelok membuatnya gentar. Supir Colt itu kerasukan. Kerjanya ngebut dan nyalip kendaraan di depan. Bahkan Colt itu hampir menabrak truk yang membawa kelapa sawit gara-gara ketika hendak nyalip sebuah sedan muncul dari arah berlawanan. Untung mobil cepat kembali ke jalurnya dan berkurang lajunya sehingga tidak menabrak pantat truk sawit itu. Takkas menahan napas dan memandang tegak ke depan karena ulah sang supir. Siap siaga untuk bertindak kalau-kalau si supir meleng. Tapi, tampaknya supir itu sudah menguasai medan menuju Danau Toba ini.

Sungguh, Takkas mensyukuri kecepatan itu. Dengan ongkos dua puluh lima ribu rupiah, perjalanan dari terminal Amplas di Medan menuju Parapat hanya makan tiga jam. Padahal menurut orang-orang di terminal, perjalanan bisa mencapai lima jam. Kalau naik bus beda lagi. Ongkosnya memang lebih murah, sekitar lima belas ribu, tapi lamanya bisa mencapai tujuh jam karena bus harus singgah di berbagai tempat untuk mengangkut penumpang. Sudah puluhan tahun Takkas tidak melintasi jalan itu. Ia hanya ingat satu hal. Jika jalan sudah dihiasi pohon pinus maka Danau Toba menanti di muka.
***

Setelah bertanya pada eda yang tersadar dari liur, Takkas turun di simpang. Tepat di bawah pigura bertuliskan “Selamat Datang di Danau Toba”. Yang digantungi spanduk mengenai Pesta Danau Toba yang diadakan tanggal tujuh sampai sebelas Oktober yang lalu. Sudah lewat tiga hari. Baguslah. Takkas ogah bersesakan dengan turis bule berbau keju basi di dalam kapal menuju Samosir. Ia sempat takut mengingat nanti akan naik kapal. Konon, setiap festival Toba dirayakan, danau meminta korban manusia. Berita ini muncul beberapa kali di koran. Tapi, masalahnya bukanlah pada mitos minta korban, melainkan kapasitas yang kelewat batas. Demi mendapat uang yang banyak, tukang kapal memuat penumpang festival yang berjubel-jubel itu sehingga kapal keberatan dan karam di tengah jalan.

Takkas jalan kaki menuju pelabuhan Ajibata—sebelumnya ia nyasar ke pelabuhan Tiga Raja yang terletak tidak jauh dari Ajibata, tapi kapal di sana tidak menuju Samosir. Yang disebut pelabuhan pun ala kadarnya saja. Sandaran di Ajibata berupa pinggiran danau yang ditempeli ban-ban bekas untuk mencegah benturan dengan mulut kapal. Sandaran itu hanya bisa menampung sebuah kapal. Jadi, kapal ganti-gantian mengangkut penumpang. Ada kapal datang, maka kapal yang mangkal harus segera berangkat. Kapal itu pun bukanlah semacam feri yang menghubungkan Merak dan Bakaheuni. Kapal itu terbuat dari kayu dan berlantai dua saja. Nakhodalah yang bertengger di lantai atas.

Kurang lebih satu jam kapal mengarungi Toba dan tiba di pelabuhan Tomok. Samosir menyambut dengan pemandangan bukit-bukit berpinus yang dilapisi kabut. Jam masih menunjukkan pukul sebelas. Kehidupan pasar masih berlangsung. Inang-inang menjajakan dagangan, ikan-ikan danau, sayur-mayur, durian, pisang goreng, kain ulos, dan lain-lain. Supir Colt ramai menawarkan jasa antar menuju Tuk Tuk, Simanindo, dan Pangurukan—daerah tujuan turis. Takkas menggeleng. Tujuannya dekat saja. Ibunya berpesan bahwa ia harus menemui Pak Lumbanbatu, kawan lama ibunya yang menjadi guide di objek wisata kuburan tua Raja Sidabutar. Keluar dari pelabuhan, kau akan melihat jalan menanjak yang dipenuhi penjual buah tangan khas Toba, masuklah ke sana. Begitu pesannya.

Setelah melewati lorong penuh pedagang yang garang menjajakan barang, Takkas sampai di tujuan. Kuburan itu terletak di sebelah kanan, dua meter di atas jalan. Dari tangga ia menyaksikan para turis asyik berfoto di kuburan-kuburan batu berkepala. Lima kuburan batu berjejer di depan. Dua di belakangnya adalah kuburan biasa. Seorang pria tua berselendang ulos tampak menemani para turis. Ialah Lumbanbatu. Ia mewakili citra orang Batak umumnya, wajah kotak dan rahang yang kaku. Rambut ikal menambah keras pembawaan wajahnya. Tapi, ia segera menyambut Takkas ramah. Ditambah tepukan di bahu.

“Sampai juga, kau?”

“Ya, lumayan perjalanannya.” Menegangkan, bukan melelahkan.

“Jadi, bagaimana keadaan istrimu?”

“Bagaimana Bapak tahu?” Takkas terkejut. Ia bahkan belum memperkenalkan diri.

“Ibumu sudah telepon. Aku kenal istrimu, Boru Sinaga, sejak ia bayi. Ia tidak pernah merasakan air susu ibunya.” Ya, ibu mertua Takkas meninggal ketika melahirkan anaknya. Pak Lumbanbatu menggiring Takkas duduk di batu panjang yang berfungsi sebagai bangku.

“Istriku makin parah, Pak, belum sadar juga.” Takkas menjawab lesu. Ia ingat istrinya terbaring lemas di rumah, bukan di dalam tas yang dipeluknya kini.

“Sudah berapa lama?”

“Seminggu. Seminggu sebelumnya dia bertingkah seperti orang hilang akal.” Takkas tidak mau menyebut istrinya seperti orang gila.

“Bawalah istrimu ke sini. Ia harus berobat di tanah leluhurnya.”

“Maksud Bapak?”

“Istrimu kena dorma sijumle.”

“Leluhur kami,” ia melanjutkan, “ Ompu Sribuntu Sidabutar, memiliki cucu bernama Naibatu. Sesuai namanya, Naibatu berwatak keras seperti batu. Ia ingin menjadi yang paling sakti. Setiap membantai musuhnya dalam perang, ia akan menampung darah mereka. Mengoleskannya di wajah dan rambut untuk menambah kesaktian. Ia punya kekasih yang sangat cantik, primadona Samosir. Anting Malela Boru Sinaga. Mereka berpacaran selama sepuluh tahun. Pernikahan mereka gagal karena seseorang meneluh Anting Malela hingga ia menjadi tidak waras. Raja sangat malu sehingga tanpa sadar mengutuk Anting Malela dan keturunannya. Nasib Anting tidak diketahui. Ada yang bilang ia meninggal. Ada yang bilang ia pergi. Dorma sijumle adalah teluh yang hanya mengincar wanita dan tidak dapat disembuhkan.”

Pak Lumbanbatu menutup cerita dengan sebuah skak mat: tidak dapat disembuhkan. Takkas tidak nyaman mendengar hal itu. Wajahnya memanas. Hatinya luruh perih.

“Kenapa istriku, siapa yang kirim?”

“Istrimu, konon, adalah keturunan Anting Malela. Pengirimnya tak ada. Itu adalah kutukan. Karena ia menikah dengan Sidabutar, Kau!” Tunjuk Pak Lumbanbatu ke muka Takkas.

Perkataannya terasa seperti layangan tinju ke kepala Takkas. Muka Takkas pucat sekaligus memerah. Penderitaan istrinya tak lain disebabkan olehnya. Ia telah melanggengkan kutukan purba itu. Ia ingin segera terbang ke rumah. Bersujud dan mohon maaf pada istrinya. Biarlah kutukan itu berpindah kepadanya.


“Apakah sudah ada korban sebelumnya?”

“Entahlah. Baru kau yang langsung menemuiku. Begini saja, lebih baik kau bawa istrimu bertemu penerus Sidabutar yang tinggal di bawah bukit, tak jauh dari sini. Nanti aku antar.”

Solusi Pak Lumbanbatu terasa tanggung. Ia memberi penyelesaian yang tak pasti. Manusia memang tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi kemudian. Tapi, paling tidak inilah jalan keluar dari kebuntuan Takkas selama di Jakarta. Semua orang pintar di sana tidak memahami apa yang menimpa istrinya. Ia juga sudah menjelajahi Banten untuk mencari bantuan. Tapi, mereka hanya bisa membaca jampi-jampi, menyembur istrinya dengan air kumur mereka, dan memencet jempol kaki istrinya sampai biru. Istrinya tak kunjung sadar.

***

Sebelum pamit kembali ke Parapat untuk mencari hotel, Takkas memandang kuburan batu Raja Naibatu yang berwatak batu itu. Raja-raja terdahulu minta dikubur di dalam batu sebagai lambang kebesaran mereka. Saat itu, agama Kristen memang belum diterima dengan baik oleh penduduk setempat sehingga aturan mengubur manusia di dalam tanah seperti yang dianjurkan agama-agama Semit belum diterapkan. Penyebaran Kristen saat itu tidak berhasil karena penduduk masih memegang kuat agama tradisional Batak dan menyembah Parmalim (sebutan untuk pencipta alam semesta).

Sesampainya di daratan Toba, Takkas mencari hotel di sekitar pinggiran danau agar mempermudah jika harus segera kembali ke Tomok. Tarif hotel yang mahal tak dipedulikannya. Harga itu setimpal dengan pemandangan alam yang dapat dinikmati dari balkon kamar. Senja di Toba begitu bening dan berkilau, berbeda dengan senja di Kuta atau Uluwatu sana. Tapi, kini ia tidak mampu memaknai keindahan itu. Bayangan istrinya selalu menghantui. Ia tidak menyangka kemajuan zaman masih menyediakan tempat untuk misteri. Untuk hal-hal yang dianggap takhayul. Ia tidak rela memikirkan istrinya harus pergi dengan kutukan jahanam itu. Tapi, bukankah semua orang tidak akan rela kehilangan istri, apa pun caranya.

Satu hari ini ia belum menghubungi keluarganya. Keluarganya juga bertindak sama. Mungkin mereka tidak mau mericuhkan usaha Takkas mencari cara penyembuhan untuk istrinya tercinta. Perempuan Batak yang bersusu besar. Ia ingat ibunya begitu senang ketika melihat calon menantunya.

“Pandai sekali kau, Nak, mencari istri yang bersusu besar. Tak percuma kau lahir sebagai orang Batak. Walaupun lama merantau, tak lupa asal usul.”

Siapa pula yang akan lupa pesan yang disampaikan selama bertahun-tahun. Setiap makan malam bertiga (Takkas anak tunggal), ibunya memberi hidangan penutup berupa ceramah menantu ideal. Bagi orang Batak (tepatnya bagi orang Batak dahulu kala, mungkin sekarang ibu Takkas seorang yang masih mematuhi petuah ini), perempuan harus bersusu empat. Bukan, bukan berarti perempuan siluman atau jadi-jadian. Empat susu adalah empat kriteria, yaitu susu yang besar sebagai simbol kesuburan karena banyak anak banyak rezeki, ramah-tamah, kesucian hati, dan kesetiaan sampai akhir hayat (orang Batak tidak mengenal perceraian).

“Tapi, dia tidak cantik, Bu. Wajahnya sama denganku. Kotak. Bisa-bisa nanti anak kami kotak seperti Spongebob.”

Mereka bertiga terbahak-bahak. Kini Takkas mau menangis mengingat kembali kejadian itu. Ia belum punya anak. Ia belum bisa membuktikan omongannya tentang anak berwajah kotak Spongebob. Pernikahannya belum genap satu tahun. Semua terjadi tiba-tiba: suatu pagi istrinya bangun dan hilang akal.
***

Kepalanya adalah batu berlumur darah. Merah yang begitu gelap. Takkas tidak tahu apakah tubuh pria berkepala batu itu adalah batu karena ia berjubah. Ia menggandeng seorang gadis, pula berjubah. Takkas yakin betul itu istrinya. Sebab gadis itu tidak berkepala batu sehingga Takkas bisa melihat jelas raut istrinya pada gadis itu. Pria berkepala batu itu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Takkas. Takkas pun bertanya mau dibawa ke mana istrinya. Mereka malah mundur menjauh. Takkas terus memanggil. Keringatnya meleleh karena udara terasa begitu panas memyulut kulit. Ia terus memanggil ketika tiba-tiba terasa getaran di saku celananya.

Ada telepon dari nomor tak dikenal. Takkas menjawabnya sambil bangkit dari tempat tidur. Badannya yang basah keringat gigil dihajar AC. Ia membawa sisa-sisa mimpi itu ke alam nyata.

“Halo?”

“Kau harus bawa istrimu, sekarang!” Seseorang memerintah.

“Apa?” Nada nut-nut-nut terdengar. Ada telepon masuk. Nomor rumah Takkas. “Sebentar, ada telepon masuk.” Takkas memakai conference call.

“Halo?”

“Pulang sekarang juga. Istrimu…” Ibunya terisak-isak di ujung telepon, di pulau seberang.

Ponsel Takkas terlepas dari genggaman dan terbanting di lantai.

Naibatu berwatak keras batu telah membawa pergi istrinya.


Jakarta, November 2009.

Menjelang Hari Raya

Menjadi PNS mungkin adalah impian semua orang. Lihat saja membludaknya peserta yang ikut seleksi PNS yang diadakan berbagai departemen pemerintahan. Pak Tresna pun tak pernah menduga bahwa pengorbanan untuk menjadi PNS sangatlah besar. Ia bekerja di TPU Sirnaraga. Menjabat sebagai tukang gali kuburan. Tidak seperti lima temannya yang lain, Pak Tresna belum resmi menjadi pegawai penggali kuburan di TPU itu. Ia hanyalah pekerja cabutan, belum terdaftar sebagai PNS di KPP (Kantor Pelayanan Pemakaman) yang membawahi TPU Sirnaraga. Tidak adanya latar belakang pendidikan dalam riwayat hidup Pak Tresna menjadi sebab. Pun begitu, ia selalu berharap dapat diangkat sebagai PNS. Nilai akademis apa pula yang diperlukan untuk membantu proses mencungkil tanah, pikirnya.

Impian itu membuat Pak Tresna selalu giat dan jujur bekerja. Ia tidak mempersoalkan beratnya kerja mengorek-ngorek tanah dengan jatah yang terserah dan keringat yang melekat. Ia tidak peduli manakala urat-urat di tangan, kaki, dan wajahnya, semakin menonjol. Bahkan urat-urat itu membatu sejalan dengan waktu. Berapa pun ongkos yang diberikan oleh pemesan kuburan diterimanya dengan lapang dada. Ia juga selalu membagi rata penghasilan itu dengan sesama pekerja—ia pernah membagi-bagi ongkos lima puluh ribu dengan empat teman lainnya sehingga mereka masing-masing hanya memegang sepuluh ribu setelah berjam-jam mengukur dan mencangkul tanah. Jika ada pemesan yang memberi uang lebih, Pak Tresna menggunakannya untuk minum kopi bersama-sama di warung Bu Yayah yang terletak di depan TPU Sirnaraga. Itulah sebabnya ia disenangi oleh banyak orang. Warga setempat selalu memesan kuburan langsung kepadanya. Padahal semestinya lapor dahulu ke kantor TPU.

Seperti tahun-tahun sebelumnya ketika hari raya akan tiba, Pak Tresna merasa sangat bahagia. Ia menyiapkan tenaga ekstra untuk menggali lubang-lubang baru. Ya, lubang-lubang. Banyak lubang berarti banyak pula pemasukan. Pimpinan TPU, Pak Togog, berpesan kepada para tukang gali agar segera membuat lima puluh lubang untuk memenuhi pesanan menjelang hari raya. Kecelakaan lalu lintas sering terjadi saat musim mudik. Korban tewas berjatuhan. Pesanan berdatangan secara mendadak. TPU tidak perlu repot karena sudah mengantisipasi hal itu. Penguburan bisa cepat dilaksanakan. Meskipun rupiah melimpah, Pak Tresna resah gelisah. Lubang-lubang itu membuatnya merasa telah meramalkan kematian orang lain. Pendek kata, mengharapkan kematian seseorang. Dalam benaknya, ia sama sekali tidak berniat menggali lubang-lubang itu. Lubang perangkap kematian.

Pak Tresna selalu mengingat pesan ibunya beberapa tahun silam, sebelum ibunya berbaring di salah satu sudut TPU, di bawah pohon Mangga yang tak pernah dipanjat warga walaupun buahnya seringkali merangsang liur (warga takut sesudah makan mangga itu mereka kesurupan dan tertimpa sial, atau mencret-mencret sebulan penuh barangkali). Ibunya pernah berbicara soal hakikat pekerjaan menggali kuburan. Penggali kuburan adalah manusia berjasa yang mengantarkan sesamanya menuju kehidupan selanjutnya, di luar dunia fana ini. Penggali kuburan tak ubah seorang travel agent. Tugasnya adalah mengantarkan orang menuju tempat yang semestinya. Jika seseorang ingin wisata ke Bali, maka seorang agen wajib memenuhinya. Andaikata seseorang meninggal, tentu kita tahu tujuannya. Kata-kata ibunya selalu berputar-putar di dalam batok kepala Pak Tresna. Janganlah kau mengundang kematian.

Ia pernah mendengar kisah seorang penjual peti mati yang memuja kematian. Alkisah, pria itu merakit sendiri peti mati yang dijualnya, yang terpajang di depan rumahnya. Konon, malam sebelum petinya terjual, pria itu selalu memimpikan petinya bergerak-gerak sendiri. Hal itu menjadi nyata, malam bermimpi, esoknya peti mati laku. Demikian seterusnya sampai suatu malam pria itu bermimpi serupa. Namun, pembeli yang ditunggu tak kunjung hadir. Bahkan sampai berbulan-bulan berselang. Pria itu resah karena istrinya marah-marah minta uang. Sebuah ide muncul di kepala pria itu. Bagaimana kalau peti-petinya di-sale, diskon lima puluh persen. Tulisan obral pun terpampang di depan dagangannya. Ternyata berhasil. Ada tetangga yang membeli peti karena ayahnya mati mendadak. Dan seterusnya, peti mati pria itu laris manis sehingga membuat warga curiga. Kematian ganjil selalu berada di balik pembelian peti-peti itu. Seorang warga lapor polisi dan menuduh pria itu sebagai pembunuh. Polisi memborgol dan menggiring pria itu masuk mobil. Istri dan anak pria itu sibuk mencegah. Seorang polisi mendorong anak pria itu hingga tersungkur membentur aspal. Darah bercucuran tanpa terkira. Polisi batal menangkap pria itu. Mereka membiayai peti dan penguburan anak itu. Sebuah peti mati yang tersisa telah menemukan tuannya.

Kisah itu membuat hati Pak Tresna ciut. Ia merinding setiap kali membayangkan seseorang mungkin saja dapat mengundang kematian sesamanya. Ia melaksanakan amanat Pak Togog dengan berat hati. Tapi, ia tergoda juga ketika Pak Togog berjanji akan mencalonkannya sebagai PNS. Kesejahteraanmu akan meningkat, tak lama lagi. Ia hanya perlu menanti sampai musim hari raya berakhir. Hatinya berdebar, tak sabar menahan penantian menjadi PNS. Impian yang ditanamnya selama ini akan berbuah.

Debaran bahagia itu berganti nestapa ketika Pak Tresna harus melewati ujian akhir kelulusan menjadi PNS. Ia dapat perintah untuk menguburkan dua jenazah pria dalam satu lubang. Dua pria itu adalah pencopet yang tewas dihajar massa di sebuah stasiun. Andaikan mereka hanya mencopet dompet dan telepon genggam tentu akibatnya tak separah itu. Tapi, mereka meremas buah dada gadis yang dicopetnya. Maka habislah pencopet binal itu diterkam massa yang gemas. Penjahat anonim itu tidak diketahui identitasnya. Juga tidak ada warga yang mengaku kehilangan sanak keluarga yang berprofesi sebagai tukang copet merangkap tukang colek. Kepolisian lantas mengirim dua jenazah bertato Donal Bebek itu ke TPU terdekat. Andaikan mereka bertato Paman Gober mungkin nasib mereka tidak semalang keponakan tokoh Walt Disney itu—si sial Donal. Mereka dapat berenang di gudang uang, bukan tenggelam di lubang buaya.

Tidak mungkin jenazah itu dibuang begitu saja, harus dikubur. Tidak mungkin juga kita memberikan dua orang jahat, entah siapa, itu liang lahat secara gratis. Tidak ada ongkos, tidak ada pelayanan. Kuburkan saja mereka dalam satu lubang. Kita masih membutuhkan empat puluh sembilan lubang untuk persiapan menjelang hari raya. Ayo, kubur saja. Ngomong-ngomong, kau masih berminat jadi PNS, kan.

Astagfirullahaladzim.

Pak Tresna hanya dapat menyebut kalimat itu ketika mendengar maklumat keramat Pak Togog. Ia belum mengiyakan perintah itu, pun menyanggah. Kebimbangan menghantui pikirannya. Dua minggu dari sekarang impiannya menjadi PNS akan terkabul. Dua minggu dari sekarang janjinya melamar Bu Yayah akan terpenuhi. Dua minggu dari sekarang ia akan menyudahi empat puluh tahun masa lajang. Dua minggu dari sekarang ia akan berstatus PNS dan Menikah.

Jenazah tidaklah sama dengan bangkai. Manusia macam apa yang tega memasukkan dua jenazah dalam satu lubang—ketika masih banyak lubang tersisa yang mampu menampung mereka. Sejahat apa pun perbuatan manusia ketika hidup, siapalah kita yang berhak menghakimi mereka.

Akhirnya ia memutuskan untuk menuruti permintaan Pak Togog, si buruk rupa dari dunia pewayangan. Pak Togog lantas menepuk-nepuk bahu Pak Tresna sambil mengucapkan terima kasih dan puja-puji. Tepukan itu sejenis basa-basi para birokrat militer yang ingin menunjukkan kekuasaan mereka dan menekan bawahannya dengan cara yang halus. Semenjak bekerja di TPU Sirnaraga Pak Tresna terbiasa dengan tepukan-tepukan yang mengayomi sekaligus menindas itu.

Malam itu juga Pak Tresna angkat pacul. Pak Togog menyuruhnya bekerja sendiri. Ini adalah misi rahasia dengan kode Burung Hantu, bisiknya. Pak Tresna mengangguk iya-iya mendengar pesan atasan yang mantan tentara. Tapi, langit enggan meluluskan proyek itu. Hujan mengguyur deras sehingga Pak Tresna berkali-kali tergelincir di atas bekas galian tanah yang buyar. Dua jenazah pencopet binal itu tergeletak di samping lubang. Pak Tresna tidak tega melihat liang yang berukuran single itu, ukuran satu orang. Maka ia turun untuk melebarkan sedikit. Tiba-tiba petir menyambar ke arah pemakaman. Pak Tresna jatuh tersentak. Pandangannya buram. Air pecah membasahi wajah dan tubuhnya. Tak terduga, tanah di atasnya longsor dan menyeret kedua jenazah seperti banjir bandang. Pak Tresna terbaring kaku ditimpa longsoran itu. Ia berteriak, tapi suaranya kalah oleh guruh hujan. Ia berusaha bangkit dengan menggeser dua tubuh yang menimpanya. Tubuh itu bergeming. Air terus mengalir membawa serta muatannya. Tubuh Pak Tresna telah terendam. Ia megap-megap. Napasnya patah-patah. Air dan tanah menyumpal mulutnya. Melaju kencang ke paru-paru.

Di warung depan TPU, Pak Togog sedang asyik menyantap pisang goreng sambil mencolek-colek pantat Bu Yayah dengan genit.


Jakarta, November 2009.

*kisah penjual peti mati diambil dari cerpen “Obral Peti Mati” dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala.

Thursday, August 26, 2010

Aku Mengunyahnya 32 Kali

Aku tidak pernah menduga akan mengunyah kekasihku lamat-lamat. Sesuai anjuran dokter: 32 kali.

Sejak kematian kakek dan nenek lima belas tahun silam, kami sekeluarga, bapak-mamak-aku, pindah ke Jakarta. Meninggalkan Simanindo, huta bolon yang mengandungku selama sembilan bulan dan merawatku genap enam tahun. Kini aku berada di kota penuh polusi dan gelandangan yang berserakan di pinggir jalan dan bersenggama di bawah kolong jembatan. Aku terbiasa dengan macet, banjir, dan demo mahasiswa dan buruh di sepanjang jalan protokol.

Aku telah lupa dengan gelora menanti musim rambutan, duku, atau durian di Samosir sana. Aku telah asing dengan sembahyang hari Sabtu untuk menyembah Parmalim kami yang tercinta. Namun aku masih ingat kecipak-kecipak bocah yang bermain dengan ikan-ikan kecil di pinggiran Toba. Aku merindukan keindahan bukit pinus, kemuning sawah dan ladang jagung yang mengering, dan pria-pria berambut emas yang sering memberiku tumpangan menuju sekolah.
***

Aku bahagia tinggal di kota besar. Kota yang penuh dengan manusia dan mall yang menjulang. Setiap pulang sekolah, aku tidak perlu berjalan kaki sepanjang lima kilometer menuju rumah seperti pengalaman semasa sekolah di kampung. Semua angkutan umum di sini dapat mengantar ke mana saja. Aku tak perlu mengotori kakiku di sawah dan ditempeli lintah di sekitar telapak. Aku bisa ke mall untuk nonton film terbaru, main di Timezone, dan menggoda laki-laki dari sekolah lain.

Terlebih, aku tak perlu lagi sembahyang Sabtu dan pergi ke gereja atau masjid. Walaupun pada kartu identitas keluargaku tertera Katolik, bapak-mamak masih memuja-muji Parmalim. Kepercayaan purba di tanah Batak. Mereka tak mewajibkanku lagi beribadah dalam bentuk apa pun. Dan aku memang belum berminat. Kehidupanku menjadi lebih santai. Pun begitu, aku jelas bukan ateis. Aku mempercayai keberadaan Tuhan di suatu tempat.

Sebagai orang Batak yang mengaku modern, aku tidak pernah memakan anjing dan binatang piaraan lainnya. Tak bermaksud melecehkan, sesungguhnya aku memang tidak suka makan daging. Hahaha... Aku lebih suka makan ikan, apalagi ikan-ikan kecil (aku tidak tahu namanya) yang memenuhi jala-jala nelayan di Toba. Ikan goreng dengan sambal belacan dipadu dengan nasi hangat yang berkepul-kepul. Luar biasa nikmatnya.

Bapak-mamak sangat menyukai daging. Mereka mengaku pernah makan daging anjing yang dimasak kuah semasa muda. Tak jelas apakah mereka menangkap anjing liar atau anjing piaraan sendiri yang disembelih untuk disop, ataukah makan di restoran B1 yang tersebar di jalanan kota Medan. Setiap hari mamak memasak rendang atau gulai daging. Dagingnya berganti-ganti, ayam, sapi, kambing, dan sangat jarang babi. Apabila mamak bertengkar dengan bapak atau mereka merepet padaku. Maka aku berkata: kalian terlalu banyak makan daging sehingga cepat naik darah! Sudah begitu mereka akan menghina tubuh kurusku yang tak pernah disokong daging-dagingan.

Tak apa, yang penting wajahku cantik.

Aku memiliki banyak pacar di sekolah. Ada lima ketika sekolah menengah pertama dan bertambah menjadi selusin ketika sekolah menengah akhir. Untungnya aku belum mengenal percintaan pada sekolah dasar sehingga rekorku hanya menyentuh lusin, bukan kodi ataupun gros. Aku selalu mengenalkan pacar-pacar itu kepada orangtuaku. Dengan harapan mereka tahu bahwa anaknya mampu beradaptasi dengan kehidupan sosial perkotaan. Tak seperti yang mereka takutkan dahulu. Jangan marah kalau ada kawan yang menghina logat Batakmu, kau pasti akan dapat kawan, begitu pesan mamak. Untungnya, logat daerahku cepat terkikis dengan bahasa gaul Jakarta yang tak terhingga banyaknya.

Pacar yang kedua belas itu bertahan sampai sekarang. Aku kuliah di Fakultas Hukum, sedangkan ia di Fakultas Psikologi. Fakultas kami bersebelahan sehingga pertemuan pun sangat mudah diatur dan diperbanyak. Orangtuaku menyukai kesukuan Charles, pacarku itu. Charles adalah orang Karo yang berasal dari Berastagi nan sejuk dengan markisanya yang manis. Tapi, ia diahirkan di Jakarta dan tak sekali pun pernah pulang kampung. Seluruh keluarganya telah tersebar di Jakarta dan Bandung. Kulit Charles sangat putih dan mulus. Itulah yang kusukai dari dirinya, di samping ciumannya yang lahap.

Mamak pernah berpesan agar aku tidak menjalin hubungan dengan suku bangsa lain. Perbedaan adat akan memantik masalah. Pun begitu, jangan juga kau berhubungan dengan orang Pakpak. Batak yang satu itu terkenal suka makan orang sejak zaman dahulu. Lidah mereka berbulu. Peninggalan kepurbaan manusia kanibal. Pertanda bahwa mereka terbiasa melahap daging manusia yang seratnya berbeda dengan daging hewan, dan lahapan itu seringkali tidak dimasak. Dimakan mentah dengan perasan jeruk nipis dan baluran garam, begitu saja. Setelah dibersihkan bagiannya yang tak layak makan, seperti koki membersihkan insang dan sisik ikan untuk dijadikan sashimi. Begitulah.

Seram sekali. Bagiku, tak ada sebagian pun tubuh manusia yang layak makan.

Sekarang ganti bapak yang bercerita. Kisahnya, orang Batak ribuan tahun silam memang benar makan daging orang. Ketika zaman peperangan antar daerah, kaum yang menang akan menawan musuhnya di bawah rumah panggung mereka. Di situ adalah tempat untuk menyimpan padi dan hasil tani. Pula kandang ternak peliharaan. Tawanan-tawanan yang tidur bersama babi dan ayam itu akan ditarik keluar. Beriringan dengan sahabat faunanya, mereka dimasak dan disantap beramai-ramai di sekeliling api unggun. Jika ada kawanmu yang kurang ajar, masak saja! Tutup bapak yang berhati batu kali.

Sialan! Mana mungkin aku mau makan orang. Daging saja aku tak doyan.

Adat memakan daging manusia ini disebut antropofagi. Semua suku Batak, tidak hanya Pakpak, melakukan tradisi ini. Pasukan Inggris yang berperang dengan Prancis di Tanah Batak menyatakan bahwa prajurit mereka yang tewas tidak dapat ditemukan karena telah disantap orang Batak. Konon, adat memakan daging manusia ini merupakan bentuk penegakan keadilan. Apabila seseorang terbukti berbuat salah dan merugikan orang lain, maka orang tersebut boleh dimakan. Selain itu, di suatu tempat, memakan orang tua yang sudah renta juga merupakan tradisi.

Entahlah. Tak ditemukan catatan otentik mengenai perilaku ini.
***

Besok adalah ulang tahunku yang kedua puluh satu. Kalau kata pemerintah, usia yang cukup bagi perempuan untuk menikah. Aku belum berencana menikah, aku hanya ingin pesta yang meriah di kafe gaul. Akan kuundang kawan-kawan kuliah. Kawan sekolah yang dulu tak usahlah, pasti mereka kalah keren dengan kawanku yang sekarang. Untunglah bapak tak peduli dengan rencana pemborosan uang itu. Ia setuju saja.

Maka. Pertama, aku harus ke rumah kontrakan Charles—ia tinggal bersama dua kawan sekelasnya. Aku harus mengajaknya untuk menyusun rencana pesta. Hohoho... Aku juga ingin mengundang beberapa kawannya. Pestaku akan meriah.

Kujamin!

Rumah itu gelap ketika aku melihatnya dari kejauhan. Apa Charles tidak ada di rumah. Hm, sudah kutelepon berkali-kali tak diangkat. Nada sibuk nut-nut-nut. Coba sajalah diketuk, siapa tahu ia sedang tidur. Ternyata ruang depan saja yang lampunya mati. Kuintip dari jendela tampak cahaya menerobos dari celah-celah pintu kamarnya. Aku hampir mengetuk ketika tanganku menyentuh gagang pintu yang ternyata tak terkunci.

Aku mengendap masuk untuk mengejutkan Charles. Surprise! Aku lompat ke tempat tidur dan memberinya ciuman hangat. Begitu rencananya sebelum aku mendengar suara-suara dari balik pintu. Jelas itu suara Charles. Dan suara itu. Ada orang lain bersamanya. Perempuan?

Aku langsung mendorong pintu dan mendapati mereka dalam posisi yang tak perlu kujelaskan panjang lebar. Jika penasaran, buka saja Kama Sutra. Itu pun kalau kalian punya. Mereka bisu dengan makianku yang bertubi-tubi. Tak kupedulikan siapa jati diri si wanita penggoda; apakah benar perempuan atau perempuan jadi-jadian yang dijadikan eksperimen oleh si Charles pukimak itu.

Bodat!
***

Malas kuceritakan bagaimana hancurnya hatiku oleh dua alasan itu. Perselingkuhan Charles dan batalnya pestaku. Alasan kedua memang tidak berhubungan dengan perkara zinah itu, tapi aku telanjur hilang mood. Kawan-kawanku pasti akan bertanya, manalah pacarmu? Kok tidak datang? Kenapa? Dan ini-itu lainnya!

Maka. Aku duduk di meja makan menghadap bapak-mamak. Mereka sudah tahu masalahku dengan Charles. Aku senang karena mereka memberikan dukungan moral dengan turut menyumpahi Charles. Hahaha, mampus kau, Bodat! Semoga kau mati ditabrak truk sawit dan menjadi begu ganjang yang bergentayangan di kampung-kampung sana!

Tapi sialan!

Mamak hanya menghidangkan semangkuk besar daging di meja. Tanpa nasi dan sayur. Kecap manis dan kerupuk pun nihil. Mau makan apa aku?

“Makanlah. Selama ini kau tak pernah makan daging, kan?”

Mamak tiba-tiba berujar sambil menyendokkan daging beserta kuahnya yang berminyak.

“Gak maulah, Mak!”

Aku menggeser piring berisi daging yang baunya sudah merasuk ke hidungku.

“Anggap saja itu pacarmu. Pasti akan terasa enak. Kau sangat suka padanya, bukan?”

Hah? Apa pula bicara bapak. Tampaknya ia sungguh memahami kesedihanku. Ah, makan sajalah daripada kelaparan. Tak lucu rasanya kalau di koran muncul berita seorang mahasiswi harus dilarikan ke rumah sakit pada hari ulang tahunnya yang kedua puluh satu karena kelaparan tidak mau makan daging yang dimasak ibunya.

Ternyata daging masakan ibu benar-benar lezat. Tak kusangka daging memiliki rasa seenak itu. Kukunyah daging itu lamat-lamat di dalam mulutku. Kuikuti anjuran dokter untuk mengunyah makanan sebanyak 32 kali.

“Bagi orang Batak, boleh saja makan daging orang yang bersalah terhadap kita. Itu disahkan oleh hukum adat.”

Celoteh bapak sambil menyeruput kuah daging.

Kulit Charles yang mulus memang sangat menggiurkan!


Jakarta, Desember 2009.


Huta bolon: kampung besar.
Parmalim: Tuhan Pencipta Alam Semesta.
B1: istilah untuk daging anjing. B2 adalah daging babi.
Bodat: monyet.
Begu ganjang: salah satu hantu dalam suku Batak.

Peri Membeli Gigiku

Kisah ini terjadi pada usiaku yang keenam. Ketika aku masih belum mengenal benar antara dongeng dan sejarah, antara cerita dan nyata, antara mitos dan realitas. Sejak kanak-kanak, aku hanya hidup berdua dengan ibu. Aku tidak pernah mengenal ayah—apa itu ayah dan bagaimana sosok ayah. Pun tak pernah teringat olehku untuk menanyakan soal ayah. Maka ibu bersikap serupa. Ia tidak pernah menyebutkan soal ayah. Seolah ia adalah Mariam yang mampu mengandung diriku tanpa butuh kehadiran laki-laki. Seolah aku dilahirkan dengan doa. Doa yang dipanjatkan oleh ibu dan diamini oleh Tuhan. Akan tetapi, jika kau penasaran dan bertanya tentang asal usulku, maka kujawab: aku terlahir dari bilah bambu yang dibelah seorang kakek tua yang tanpa terduga mendapati sesosok bayi di dalam rongga bambu.

Bukan. Ini bukanlah kisah perempuan-perempuan perkasa, seperti yang ramai dituturkan oleh feminis. Tanpa bermaksud menyinggung atau pun membuat kecewa, ini sekadar dongeng anak. Cerita impian seorang bocah. Jadi, kalian tidak perlu khawatir akan menjumpai kata-kata vulgar atau tak senonoh. Semua kalangan usia dapat membaca dongeng ini; laki-laki dan perempuan.

Dongengku hanya dilakoni oleh dua tokoh: ibu dan aku. Latar tempat dan waktu tidak menjadi soal. Tapi, sebagaimana penamaan yang unik dan cantik berperan penting dalam dongeng, kalian bisa menyebut kisah ini terjadi di sebuah kota bernama Wonderland. Dan aku bernama Alice (ya, ya, aku memang menyukai Alice in Wonderland). Hari-hari dilewati dengan kebersamaan kami yang penuh keceriaan. Aku tidak pernah bersekolah—seperti impian semua anak kecil, mungkin. Duniaku adalah bermain. Semua mainan kumiliki, mulai dari Ludo, Ular Tangga, Monopoli, Lego, sampai kereta-keretaan lengkap dengan relnya yang panjang berkelok-kelok naik-turun. Boneka Tediku juga lengkap tersusun di atas tempat tidur.

Tapi lagi, sebagaimana “Buku Panduan Cerita Dongeng yang Baku”, di mana ada kebaikan, di situ ada kejahatan; di mana ada kebahagiaan, di situ ada kesedihan. Seperti Cinderella dan Snow White yang harus bertemu ibu tiri dan penyihir yang jahat, maka dongengku juga harus memiliki penjahat. Pun begitu, aku tidak mau Serigala licik yang mengganggu Gadis Kecil Berkerudung Merah hadir di sini. Penjahatku adalah Ibu yang Harus Bekerja Setiap Malam. Ya, walaupun aku memiliki semua permainan yang bisa menyenangkan hati, aku selalu merindukan kehadiran ibu untuk mengantarku tidur dengan sebuah cerita. Setiap malam ibu selalu tak ada. Aku tidak pernah mempertanyakan pekerjaannya. Akan tetapi, aku dapat mendengar bisik-bisik tetangga yang selalu berkoar jika melihat ibu keluar malam-malam.

“Huh, gendut gitu mana laku?” Cerocos salah satu ibu yang sebenarnya lebih gendut.

“Itu mah bukan gendut, montok euy!” Jawab ibu yang satu.

“Tapi, mukanya sih cantik juga kalau diperhatiin.” Bela ibu tukang sayur langganan ibuku.

“Ah, itu sih menang di pupur tebel sama gincu merah.” Balas ibu yang tahu-tahu ikutan nimbrung.

Aku merasa gondok mendengar ocehan ibu-ibu itu, walaupun aku tidak paham benar apa yang mereka gunjingkan. Aku merasa risih karena ibu dijadikan buah bibir, yang berarti aku juga mendapat status serupa. Namun, aku memiliki memori yang paling manis, yaitu ketika satu malam, hanya satu kali itu saja, ibu menceritakan dongeng tentang peri kecil yang mengurusi gigi anak kecil. Peri Gigi.

Alkisah, di Negeri Awan tinggallah ratusan peri kecil yang cantik dan baik hati. Peri-peri itu serupa manusia, ada laki-laki dan perempuan. Rambut mereka berwarna keemasan dan berkilauan. Ada yang lurus, juga ikal. Kulit mereka halus dan seputih porselin, tapi pipi mereka bersemu merah jambu. Kostum mereka juga berwarna putih dan selalu berkibaran dibelai angin. Ada beberapa peri yang membawa tongkat (seperti tongkat Harry Potter). Akan tetapi, tongkat peri juga berwarna putih, seputih kulit dan kostum mereka. Peri laki-laki yang populer adalah Cupid. Cupid selalu menggendong busur dan anak panah dalam tugasnya. Sesuai dengan ukiran berbentuk hati yang terdapat di ujung anak panahnya, tugas Cupid adalah menyebarkan rasa cinta ke dalam hati manusia.

Peri perempuan yang paling kusukai—tentu saja karena menjadi dongeng pengantar tidurku setiap malam—adalah Peri Gigi. Tugas Peri Gigi adalah menjaga gigi susu anak kecil yang baru saja copot dari gusinya. Konon, Peri Gigi sangat baik hati terhadap anak kecil, terutama anak yang rajin menyimpan giginya yang copot. Jika kita mulai merasa gigi nyut-nyutan dan akan segera copot, maka sang ibu harus menyiapkan sebuah kantung sebagai tempat menyimpan gigi itu. Setelah gigi itu benar hengkang kaki, masukkan ke dalam kantung. Lalu, letakkan kantung itu di bawah bantal. Malamnya, Peri Gigi akan mendatangi kamar kita. Ia akan mengambil gigi kita dan menukarnya dengan uang. Jumlah uang itu tergantung pada keadaan gigi kita, apakah masih bagus atau sudah bolong-bolong.

Cerita itu membuatku menanti gigi susuku untuk cepat copot. Aku ingin memiliki uang yang dihasilkan dengan darah sendiri. Oleh sebab itu, setiap hari aku menunggu kapan gigiku akan pindah rumah—dari mulut ke kantung. Untungnya, tak berapa lama kemudian, gigi taringku yang di atas sebelah kanan copot. Meskipun mengeluarkan darah tak sedikit, hatiku senang dan puas. Tibalah saatnya menyambut kunjungan Peri Gigi. Segera aku minta sebuah kantung kepada ibu. Ibu yang merasa kasihan dengan wajahku yang masih meringis kesakitan lantas memberikan dompet kecil berwarna merah jambu. Dompet itu bergambar pelangi lengkap dengan awan-awannya.

Malamnya, aku menyimpan dompet itu tepat di bawah bantal. Aku tidak peduli walaupun dompet itu mengganjal bantalku yang tipis dan membuat kepalaku tidak nyaman (bantal itu adalah satu-satunya barang buluk dalam dongeng ini). Aku yakin Peri Gigi akan memberi uang banyak karena gigiku masih bagus. Bahkan sebelum dimasukkan ke dalam dompet, aku telah menyikatnya dengan odol. Sebelum tidur, tak lupa aku berdoa kepada Tuhan agar mengingatkan Peri Gigi untuk tidak bolos malam ini. Doaku terjawab. Begitu terbangun keesokan paginya, buru-buru kubalik bantal untuk melihat dompet itu. Lenyap. Dompet itu tidak ada di sana. Kucari-cari di sekitar tilam, ternyata dompet itu jatuh ke bawah. Segera kuraih dan kubuka dompet itu. Oh, ternyata cerita ibu benar-benar nyata. Kulihat uang lembaran sepuluh ribu terlipat di dalamnya.

Sejak itu, aku terus berniat mendapatkan uang dari gigi susuku. Aku ingin menunjukkan kepada ibu bahwa aku juga bisa menghasilkan uang—bukan hanya dirinya. Bahkan aku akan mengumpulkan uang itu untuk sekolah. Ya, sesungguhnya aku sangat ingin bersekolah seperti yang dilakukan anak-anak kecil lainnya. Yang selalu riang padahal baru saja terjatuh ketika bermain lompat tali. Aku ingin merasakan bagaimana malunya karena teman laki-lakiku menyingkap rok merahku sehingga celana dalamku yang berenda terlihat jelas. Setelah itu mereka akan memanggilku: Gadis Bercelana Dalam Renda.

Namun, gigiku tidak menunjukkan tanda-tanda untuk copot lagi. Aku sedih sekali. Bagaimana caranya agar gigiku copot. Aku teringat pesan ibu bahwa coklat dan permen dapat merusak gigi anak kecil. Hmm, jika gigiku rusak maka akan lebih cepat copot, begitu simpulku singkat. Lantas setiap hari kubeli permen dan coklat dengan uang dari Peri Gigi. Waktu senggang kuhabiskan dengan mengulum dan mengunyah permen. Segala merk dan rasa kucoba. Mulai dari rasa coklat, kopi, buah-buahan, sampai rasa odol.

Seminggu setelah aksi sikat semua permen itu, gigiku terbukti sakit. Geraham bawah kananku terlihat hitam dan bolong. Kepalaku sakit menahan ngilu dan nyeri. Enam hari berlalu namun gigiku masih diam. Akhirnya aku protes kepada ibu mengapa gigiku tak bisa copot. Apakah ibu bohong karena tidak ingin melihatku berhasil mendapatkan uang. Aku tidak pernah melarang ibu keluar setiap malam. Jadi, ibu juga tidak boleh menghalangi keinginanku. Ia menjawab, geraham biasanya memang copot paling terakhir. Gigi depanlah yang lebih awal copot. Aku pun ganti siasat. Permen dan coklat tidak berhasil mengusir gigiku. Jadi, aku memutuskan tidak gosok gigi sampai gigiku mau copot. Dengan harapan gigi yang kotor akan mempercepat kerusakan gigi. Seminggu kujalani siasat itu. Setiap pagi aku berpura-pura gosok gigi ketika ibu menyuruhku mandi. Padahal aku hanya berkumur-kumur. Ibu tidak menyadari bahwa mulutku begitu bau karena aku mengunci mulutku agar baunya tidak menyeruap.

Tuhan membalas usahaku. Gigi seriku yang di bawah terasa sakit dan goyang. Aku pun memaksa mencabutnya hari itu juga. Aku melihat wajah ibu tidak menyiratkan rasa senang. Mungkin ia cemburu karena aku akan mempunyai uang lebih banyak darinya. Malamnya, aku kembali melaksanakan strategi sebelumnya. Malamnya, aku kembali melaksanakan strategi sebelumnya. Menyimpan gigi itu di dalam dompet dan taruh di bawah bantal. Lagi-lagi aku berdoa mengingatkan Tuhan agar menyuruh Peri Gigi tidak datang terlambat. Di tengah kelamnya malam aku terbangun karena mendengar suara pintu yang bergeser. Kulihat ada seseorang bersimpuh di samping ranjangku. Aku menebak: itulah Peri Gigi! Ternyata tubuh peri tidak kecil seperti dalam imajinasiku—tubuhnya sebesar manusia. Lantas aku memalingkan wajah agar ia tidak pergi karena aksinya ketahuan olehku. Aku segera tidur agar bisa lebih cepat bangun untuk membuka peti harta karunku esok.

Ketika sarapan di meja makan. Aku sampaikan kemenanganku kepada ibu.

“Bu, lihatlah. Semalam Peri Gigi membeli gigiku lagi. Uangku sekarang menjadi banyak.” Aku pamerkan lembaran-lembaran puluhan ribu kepada ibu.

“Baguslah, Nak. Untuk uang jajanmu.” Ibu menjawab pelan. Aku tahu ibu cemburu kepada Peri Gigi.

“Ya, aku sayang kepada Peri Gigi. Ia selalu datang ke kamarku. Aku punya Peri Gigi. Jadi, ibu boleh pergi setiap malam.”

“Oh.” Aku tidak tahu arti wajah ibu.

“Peri Gigi akan membayar uang sekolahku.”

“Baguslah.” Ibu menjawab singkat.

“Aku tidak perlu ibu.”
***

Itulah dongengku. Kini aku menyesali perkataanku dahulu. Kini aku tahu bahwa ibu sangat menyayangiku. Kini aku tahu bahwa ibu yang selalu menyelipkan uang ke dalam kantung gigiku. Kini aku benar-benar tahu mengapa ibu harus bekerja setiap malam sampai pagi menjelang. Kini aku tahu siapa ayahku dan mengapa ia tidak peduli pada kami. Kini aku tahu mengapa ibu menceritakan dongeng Peri Gigi yang sesungguhnya berasal dari negara Barat padahal kami tinggal di Indonesia—cerita mengenai gigi susu di sini adalah gigi yang tanggal harus dibuang ke bagian atas rumah atau ke arah langit.

Kini ibu sakit dan terbaring lemas di tempat tidur. Kini aku siap melanjutkan pekerjaannya. Dan di Hari Ibu ini, dongengku yang sesungguhnya baru saja dimulai…


Jakarta, November 2009.