Sunday, January 9, 2011

Jibran Menulis Cerpen

Nama : Jibran D. Purnomo

Profesi :

Semula itulah dua baris pertama yang diketik Jibran dalam biodata yang akan dikirimkannya bersama sebuah cerpen untuk dimuat dalam surat kabar di Jakarta. Lalu, ia menghapus dan menggantinya.

Nama : Jibran Djoko Purnomo

Profesi :

Nah, ini yang benar, pikirnya. Jibran teringat pada pesan seorang dosennya ketika kuliah dulu. Mahaguru itu bernama Bayan M. Kabayana. Guru Kabayana mengajarkan mata kuliah penulisan populer dan Jibran yang sangat ingin menjadi penulis, yang merasa mampu menulis apa pun, lantas masuk ke kelas itu dengan hati jemawa.

Hal pertama yang dikatakan Mahaguru Kabayana adalah, “kamu tidak cocok menjadi penulis. Namamu kurang mencitrakan sosok penulis berbakat yang akan sukses dan kaya raya.” Walaupun Jibran jarang mendengar tentang penulis kaya raya, kecuali seorang penulis gondrong yang novelnya diangkat menjadi layar lebar, yang juga berwajah mirip guru spiritualnya. Batinnya teriris. Ia memutuskan harus mengubah namanya yang Djoko Purnomo itu. Tentu ia belum tahu apakah harus menambah, mengurangi, atau bahkan menjumlahkan total suku kata namanya lalu membaginya sama rata menjadi nama baru.

Alangkah mulianya Mahaguru itu, simpul Jibran. Kabayana yang juga ahli semiotik menyebutkan bahwa penulis yang memiliki nama dengan tiga kata lebih baik tidak menyingkat nama tengahnya karena mereka cenderung mati muda. Ia menyebutkan penulis itu satu-satu. Jibran tak mengenalinya. Untungnya ia tidak memiliki nama tengah, tapi ia merujuk juga pada nama yang dikenalnya, Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma. Ya, mereka tidak menyingkat namanya menjadi Sapardi D. Damono dan Seno G. Ajidarma.

Dan hari itu pun ia memutuskan menambahkan Jibran di depan nama lahirnya. Berasal dari nama Kahlil Gibran yang diliriknya di toko buku. Dengan sedikit modifikasi yang kompleks, G diganti menjadi J.

Jibran melirik sekali lagi cerpen yang ditulisnya. Hmm, bagus sekali. Pembaca tidak akan menyangka bahwa sebelum menjadi penulis cerpen, Jibran melakoni berbagai profesi yang menurutnya turunan dari penulis. Ia pernah menulis teka-teki silang, walaupun lebih tepatnya merancang balok-balok naik-turun dengan pertanyaan semudah dan semenjebak mungkin. Ia pernah menjadi penulis iklan di perusahaan kecil di kota kelahirannya, penulis lepas kolom berita di koran, penulis ramalan bintang di majalah remaja, dan lain-lain. Sayangnya ia tidak bisa menulis sila-sila Pancasila karena sudah disusun puluhan tahun silam. Namun, ia tetap berkeinginan menyumbang beberapa ayat untuk Undang-undang Dasar karena beberapa tahun belakangan ini ia melihat banyaknya tambal sulam dalam UUD 1945. Dan untuk hal ini ia tidak memungut bayaran.

***

Terjunnya Jibran dalam penulisan sastra dilatarbelakangi oleh pertemuannya dengan dua orang yang sangat penting. Dua orang itu seolah-olah hadir di tengah kebimbangan dan kegamangan Jibran ketika menimbang apakah ia akan menjadi penulis puisi atau penulis cerpen atau penulis lagu. Yang terakhir ditariknya kembali karena ia sama sekali tidak mengerti tangga nada. Pertama-tama, begitu lulus dari kuliah di universitas negeri impian rakyat se-Indonesia, Jibran mengikuti sebuah kelompok kreatif penulisan yang diprakarsai seorang penulis Tanpa Nama yang Jelas. Penulis yang dipanggil Guru AS itu tentunya tidak mengambil namanya dari kartu remi—Jibran sudah menanyakannya. AS memang namanya, tetapi tak seorang pun tahu kepanjangannya. Dan guru itu seperti enggan memberi tahu nama aslinya.

Peserta kelompok kreatif penulisan itu sering kali membahas nama Guru AS Mereka membandingkannya dengan Pendekar Tanpa Nama dalam novel Nagabumi karangan Seno Gumira Ajidarma. Jibran yang terlibat dalam diskusi petang itu pun berniat membaca ulang Nagabumi demi mencari sekilat cahaya. Mungkin jawabannya terdapat dalam halaman 666, atau pada halaman penjumlahan bilangan huruf A dan S, yaitu 20, atau penjumlahan tersebut harus dikuadratkan. Beberapa peserta yang ayu menggabungkan Guru AS dan Dukun AS dalam sebuah analogi. Beberapa peserta yang tanggung keimanannya lantas memutuskan memanggil Guru AS yang sangat master dalam menulis itu sebagai Alaihi Salam. Sisanya menebak-nebak dalam hati.

Begitulah, kita kesampingkan dahulu persoalan nama yang tak terpecahkan itu. Pada suatu malam usai pelatihan penulisan dan bincang singkat dengan peserta lain, Jibran menghampiri Guru AS yang sedang merokok dan sesekali menyesap kopi hitam.

“Guru AS, aku bingung harus menulis apa.”

“Lah, kenapa bingung. Tulis, ya, tulis saja apa pun semaumu.” Saran guru itu sambil menyibak rambutnya yang penuh uban.

“Aku ingin menulis puisi, tapi tampaknya aku tidak cukup pandai merangkai kata.” Wajah Jibran memelas.

“Mudah, toh. Menulis puisi hanya membutuhkan keharuan. Pembaca akan menyukai puisimu karena keterharuan yang kau umbar.”

“Terharu?”

“Tentu saja.”

“Terlebih, orang-orang zaman sekarang sangat mudah terharu.”

Jibran pun memutuskan tidak akan menulis puisi karena ia bukan tipe orang yang mudah terharu dan pandai membuat ataupun menikmati keharuan. Lagipula rasa haru Jibran selalu timbul pada persoalan yang baginya pun kurang tepat. Ia terharu ketika Gayus Tambunan, si tukang pungut pajak yang termahsyur, tertangkap kamera menggunakan wig buruk ketika menonton pertandingan tenis yang kemudian hari mengungkap kebobrokan beberapa orang dalam istansi pemerintahan karena seharusnya Gayus mendekam di penjara. Jibran terharu dengan kenyataan bahwa betapa banyak uang yang dimiliki Gayus. Jibran lantas iri. Hal ini tentu tidak mungkin diungkapkannya dalam puisi, bukan.

Ia juga tidak mungkin menulis puisi tentang keharuannya pada Ariel yang sedang disidang untuk kasus video porno. Ia sangat terharu sekaligus iri karena Ariel berhasil menarik gadis-gadis cantik, bahkan merekam keahlian mereka di tempat tidur. Tentu Jibran ingin memiliki video pribadi semacam itu agar bisa ditonton ulang ketika bosan, membaca koran, sebelum tidur, dan barangkali sebelum berangkat kerja untuk menambah semangat.

Kemudian, ia mengingat salah satu penulis yang sangat pandai membuat keharuan, bahkan hanya dari sepotong celana. Andaikan aku bisa memanfaatkan sepatu dan membuat pembaca terharu, pikir Jibran. Ia juga salut pada seorang penulis yang bisa mencintai dengan sederhana dan yang bisa menggunting senja untuk pacarnya. Jibran sangat ingin menulis tentang seorang wanita yang berbibir seperti sosis. Ah, begitu banyak yang diinginkannya.

Jibran hanya mampu menghadiri pelatihan kreatif itu tiga kali. Ia merasa putus asa karena ternyata ia tidak memiliki bakat menulis puisi yang harusnya mengharukan. Lalu, ia gonta-ganti mencari pekerjaan sebagai penulis ini-itu, seperti yang telah diungkapkan di atas. Hingga suatu hari, ia rindu pulang ke kota kelahirannya di Semarang. Dalam perjalanannya di kereta, ia bertemu dengan seorang pria gondrong yang menamai dirinya Guru CN Jibran heran mengapa orang-orang yang ditemuinya selalu menggunakan nama inisial. Apakah mereka semacam pelaku kriminal yang sering muncul di koran-koran dengan berbagai nama, JP, DP, NI, dan lain-lain. Pria yang ternyata juga berkumis dan bercambang itu dengan ramah memulai pembicaraan. Ia mengaku sebagai pengembara yang sedang mencari ilham karena hidupnya dilanda kepenatan berkepanjangan. Oh, betapa senangnya Jibran bertemu dengan Guru nyentrik yang senasib dengannya, sama-sama mencari ilham.

Pria itu mengingatkan Jibran pada seorang artis yang heboh bercerai dengan istrinya, Ahmad Dani. Ahmad Dani pernah menyampaikan pada sebuah tayangan infotaiment bahwa ia ingin mengamalkan sunah rasul dengan memiliki cambang.

Mulut Jibral gatal ingin mempertanyakan soal cambang nan lebat itu.

“Apakah Guru sudah lama tidak bercukur karena mengembara?”

“Oh, tentu tidak. Aku suka dengan cambangku, mirip Chuck Norris, bukan?” Jibran ingin tertawa. Tentu ia mengenal Chuck Norris. Bintang yang satu ini filmnya selalu diputar berulang-ulang, mengalahkan film penyerangan G 30 S PKI dan film hantu Suzanna.

“Tahukah kau, Nak?” Jibran agak meringis dipanggil Nak.

“Cambang Norris berhasil mengalahkan Mike Tyson dalam satu ronde saja.” Oh, Jibran tidak pernah mendengar hal itu. Ia juga sangat mengidolakan Mike Tyson yang hobi menggigit telinga lawannya. Ia curiga, jangan-jangan Chuck Norris juga mengalahkan Michael Jordan dalam pertandingan basket.

“Bahkan, pada setiap sel dalam tubuh Chuck Norris memiliki cambangnya masing-masing.”

***

Jibran batal pulang kampung, ia mencium tangan Guru CN dan langsung turun di Stasiun Cirebon. Ia menuju loket dan mengantre untuk mendapatkan tiket Gumarang kembali ke Jakarta. Sesampainya di rumah sewanya di kawasan Pasar Senen, ia menyalakan komputer. Ia memutuskan untuk menulis sebuah cerita pendek yang mengisahkan napak tilas pertemuan dengan dua guru sakti itu: Guru AS yang memberinya inspirasi tentang perlunya keharuan dalam sebuah puisi yang mengantarnya pada keputusan tidak menulis puisi dan kebuntuan ilham sehingga ia dapat bertemu dengan guru yang lain, yaitu Guru CN yang mengamalkan prinsip hidup Chuck Norris dan bersedia menjadi guru spiritual Jibran. Jibran merasa bangga memiliki guru spiritual, ia merasa seperti artis-artis yang mondar-mandir di televisi. Ia bahkan mempertimbangkan untuk memanjangkan rambut dan memelihara cambang.

Aku harus tampil seperti penulis sejati, putusnya. Dan untuk kesekian kalinya ia mencantumkan “penulis” sebagai profesi.

Jakarta, 10 Januari 2011




3 comments:

  1. Wahahahahaha!! Sumpah ini bagus banget, Yuki! Lucuuuuuu... *gulinggulingan*

    ReplyDelete
  2. wahahahah, iya lucu, kayak saya!!! *ngaca sampe juling*

    ReplyDelete
  3. hahaha, thank you andin..
    terinspirasi dari Abah Anom nih!

    ReplyDelete