Thursday, August 26, 2010

Aku Mengunyahnya 32 Kali

Aku tidak pernah menduga akan mengunyah kekasihku lamat-lamat. Sesuai anjuran dokter: 32 kali.

Sejak kematian kakek dan nenek lima belas tahun silam, kami sekeluarga, bapak-mamak-aku, pindah ke Jakarta. Meninggalkan Simanindo, huta bolon yang mengandungku selama sembilan bulan dan merawatku genap enam tahun. Kini aku berada di kota penuh polusi dan gelandangan yang berserakan di pinggir jalan dan bersenggama di bawah kolong jembatan. Aku terbiasa dengan macet, banjir, dan demo mahasiswa dan buruh di sepanjang jalan protokol.

Aku telah lupa dengan gelora menanti musim rambutan, duku, atau durian di Samosir sana. Aku telah asing dengan sembahyang hari Sabtu untuk menyembah Parmalim kami yang tercinta. Namun aku masih ingat kecipak-kecipak bocah yang bermain dengan ikan-ikan kecil di pinggiran Toba. Aku merindukan keindahan bukit pinus, kemuning sawah dan ladang jagung yang mengering, dan pria-pria berambut emas yang sering memberiku tumpangan menuju sekolah.
***

Aku bahagia tinggal di kota besar. Kota yang penuh dengan manusia dan mall yang menjulang. Setiap pulang sekolah, aku tidak perlu berjalan kaki sepanjang lima kilometer menuju rumah seperti pengalaman semasa sekolah di kampung. Semua angkutan umum di sini dapat mengantar ke mana saja. Aku tak perlu mengotori kakiku di sawah dan ditempeli lintah di sekitar telapak. Aku bisa ke mall untuk nonton film terbaru, main di Timezone, dan menggoda laki-laki dari sekolah lain.

Terlebih, aku tak perlu lagi sembahyang Sabtu dan pergi ke gereja atau masjid. Walaupun pada kartu identitas keluargaku tertera Katolik, bapak-mamak masih memuja-muji Parmalim. Kepercayaan purba di tanah Batak. Mereka tak mewajibkanku lagi beribadah dalam bentuk apa pun. Dan aku memang belum berminat. Kehidupanku menjadi lebih santai. Pun begitu, aku jelas bukan ateis. Aku mempercayai keberadaan Tuhan di suatu tempat.

Sebagai orang Batak yang mengaku modern, aku tidak pernah memakan anjing dan binatang piaraan lainnya. Tak bermaksud melecehkan, sesungguhnya aku memang tidak suka makan daging. Hahaha... Aku lebih suka makan ikan, apalagi ikan-ikan kecil (aku tidak tahu namanya) yang memenuhi jala-jala nelayan di Toba. Ikan goreng dengan sambal belacan dipadu dengan nasi hangat yang berkepul-kepul. Luar biasa nikmatnya.

Bapak-mamak sangat menyukai daging. Mereka mengaku pernah makan daging anjing yang dimasak kuah semasa muda. Tak jelas apakah mereka menangkap anjing liar atau anjing piaraan sendiri yang disembelih untuk disop, ataukah makan di restoran B1 yang tersebar di jalanan kota Medan. Setiap hari mamak memasak rendang atau gulai daging. Dagingnya berganti-ganti, ayam, sapi, kambing, dan sangat jarang babi. Apabila mamak bertengkar dengan bapak atau mereka merepet padaku. Maka aku berkata: kalian terlalu banyak makan daging sehingga cepat naik darah! Sudah begitu mereka akan menghina tubuh kurusku yang tak pernah disokong daging-dagingan.

Tak apa, yang penting wajahku cantik.

Aku memiliki banyak pacar di sekolah. Ada lima ketika sekolah menengah pertama dan bertambah menjadi selusin ketika sekolah menengah akhir. Untungnya aku belum mengenal percintaan pada sekolah dasar sehingga rekorku hanya menyentuh lusin, bukan kodi ataupun gros. Aku selalu mengenalkan pacar-pacar itu kepada orangtuaku. Dengan harapan mereka tahu bahwa anaknya mampu beradaptasi dengan kehidupan sosial perkotaan. Tak seperti yang mereka takutkan dahulu. Jangan marah kalau ada kawan yang menghina logat Batakmu, kau pasti akan dapat kawan, begitu pesan mamak. Untungnya, logat daerahku cepat terkikis dengan bahasa gaul Jakarta yang tak terhingga banyaknya.

Pacar yang kedua belas itu bertahan sampai sekarang. Aku kuliah di Fakultas Hukum, sedangkan ia di Fakultas Psikologi. Fakultas kami bersebelahan sehingga pertemuan pun sangat mudah diatur dan diperbanyak. Orangtuaku menyukai kesukuan Charles, pacarku itu. Charles adalah orang Karo yang berasal dari Berastagi nan sejuk dengan markisanya yang manis. Tapi, ia diahirkan di Jakarta dan tak sekali pun pernah pulang kampung. Seluruh keluarganya telah tersebar di Jakarta dan Bandung. Kulit Charles sangat putih dan mulus. Itulah yang kusukai dari dirinya, di samping ciumannya yang lahap.

Mamak pernah berpesan agar aku tidak menjalin hubungan dengan suku bangsa lain. Perbedaan adat akan memantik masalah. Pun begitu, jangan juga kau berhubungan dengan orang Pakpak. Batak yang satu itu terkenal suka makan orang sejak zaman dahulu. Lidah mereka berbulu. Peninggalan kepurbaan manusia kanibal. Pertanda bahwa mereka terbiasa melahap daging manusia yang seratnya berbeda dengan daging hewan, dan lahapan itu seringkali tidak dimasak. Dimakan mentah dengan perasan jeruk nipis dan baluran garam, begitu saja. Setelah dibersihkan bagiannya yang tak layak makan, seperti koki membersihkan insang dan sisik ikan untuk dijadikan sashimi. Begitulah.

Seram sekali. Bagiku, tak ada sebagian pun tubuh manusia yang layak makan.

Sekarang ganti bapak yang bercerita. Kisahnya, orang Batak ribuan tahun silam memang benar makan daging orang. Ketika zaman peperangan antar daerah, kaum yang menang akan menawan musuhnya di bawah rumah panggung mereka. Di situ adalah tempat untuk menyimpan padi dan hasil tani. Pula kandang ternak peliharaan. Tawanan-tawanan yang tidur bersama babi dan ayam itu akan ditarik keluar. Beriringan dengan sahabat faunanya, mereka dimasak dan disantap beramai-ramai di sekeliling api unggun. Jika ada kawanmu yang kurang ajar, masak saja! Tutup bapak yang berhati batu kali.

Sialan! Mana mungkin aku mau makan orang. Daging saja aku tak doyan.

Adat memakan daging manusia ini disebut antropofagi. Semua suku Batak, tidak hanya Pakpak, melakukan tradisi ini. Pasukan Inggris yang berperang dengan Prancis di Tanah Batak menyatakan bahwa prajurit mereka yang tewas tidak dapat ditemukan karena telah disantap orang Batak. Konon, adat memakan daging manusia ini merupakan bentuk penegakan keadilan. Apabila seseorang terbukti berbuat salah dan merugikan orang lain, maka orang tersebut boleh dimakan. Selain itu, di suatu tempat, memakan orang tua yang sudah renta juga merupakan tradisi.

Entahlah. Tak ditemukan catatan otentik mengenai perilaku ini.
***

Besok adalah ulang tahunku yang kedua puluh satu. Kalau kata pemerintah, usia yang cukup bagi perempuan untuk menikah. Aku belum berencana menikah, aku hanya ingin pesta yang meriah di kafe gaul. Akan kuundang kawan-kawan kuliah. Kawan sekolah yang dulu tak usahlah, pasti mereka kalah keren dengan kawanku yang sekarang. Untunglah bapak tak peduli dengan rencana pemborosan uang itu. Ia setuju saja.

Maka. Pertama, aku harus ke rumah kontrakan Charles—ia tinggal bersama dua kawan sekelasnya. Aku harus mengajaknya untuk menyusun rencana pesta. Hohoho... Aku juga ingin mengundang beberapa kawannya. Pestaku akan meriah.

Kujamin!

Rumah itu gelap ketika aku melihatnya dari kejauhan. Apa Charles tidak ada di rumah. Hm, sudah kutelepon berkali-kali tak diangkat. Nada sibuk nut-nut-nut. Coba sajalah diketuk, siapa tahu ia sedang tidur. Ternyata ruang depan saja yang lampunya mati. Kuintip dari jendela tampak cahaya menerobos dari celah-celah pintu kamarnya. Aku hampir mengetuk ketika tanganku menyentuh gagang pintu yang ternyata tak terkunci.

Aku mengendap masuk untuk mengejutkan Charles. Surprise! Aku lompat ke tempat tidur dan memberinya ciuman hangat. Begitu rencananya sebelum aku mendengar suara-suara dari balik pintu. Jelas itu suara Charles. Dan suara itu. Ada orang lain bersamanya. Perempuan?

Aku langsung mendorong pintu dan mendapati mereka dalam posisi yang tak perlu kujelaskan panjang lebar. Jika penasaran, buka saja Kama Sutra. Itu pun kalau kalian punya. Mereka bisu dengan makianku yang bertubi-tubi. Tak kupedulikan siapa jati diri si wanita penggoda; apakah benar perempuan atau perempuan jadi-jadian yang dijadikan eksperimen oleh si Charles pukimak itu.

Bodat!
***

Malas kuceritakan bagaimana hancurnya hatiku oleh dua alasan itu. Perselingkuhan Charles dan batalnya pestaku. Alasan kedua memang tidak berhubungan dengan perkara zinah itu, tapi aku telanjur hilang mood. Kawan-kawanku pasti akan bertanya, manalah pacarmu? Kok tidak datang? Kenapa? Dan ini-itu lainnya!

Maka. Aku duduk di meja makan menghadap bapak-mamak. Mereka sudah tahu masalahku dengan Charles. Aku senang karena mereka memberikan dukungan moral dengan turut menyumpahi Charles. Hahaha, mampus kau, Bodat! Semoga kau mati ditabrak truk sawit dan menjadi begu ganjang yang bergentayangan di kampung-kampung sana!

Tapi sialan!

Mamak hanya menghidangkan semangkuk besar daging di meja. Tanpa nasi dan sayur. Kecap manis dan kerupuk pun nihil. Mau makan apa aku?

“Makanlah. Selama ini kau tak pernah makan daging, kan?”

Mamak tiba-tiba berujar sambil menyendokkan daging beserta kuahnya yang berminyak.

“Gak maulah, Mak!”

Aku menggeser piring berisi daging yang baunya sudah merasuk ke hidungku.

“Anggap saja itu pacarmu. Pasti akan terasa enak. Kau sangat suka padanya, bukan?”

Hah? Apa pula bicara bapak. Tampaknya ia sungguh memahami kesedihanku. Ah, makan sajalah daripada kelaparan. Tak lucu rasanya kalau di koran muncul berita seorang mahasiswi harus dilarikan ke rumah sakit pada hari ulang tahunnya yang kedua puluh satu karena kelaparan tidak mau makan daging yang dimasak ibunya.

Ternyata daging masakan ibu benar-benar lezat. Tak kusangka daging memiliki rasa seenak itu. Kukunyah daging itu lamat-lamat di dalam mulutku. Kuikuti anjuran dokter untuk mengunyah makanan sebanyak 32 kali.

“Bagi orang Batak, boleh saja makan daging orang yang bersalah terhadap kita. Itu disahkan oleh hukum adat.”

Celoteh bapak sambil menyeruput kuah daging.

Kulit Charles yang mulus memang sangat menggiurkan!


Jakarta, Desember 2009.


Huta bolon: kampung besar.
Parmalim: Tuhan Pencipta Alam Semesta.
B1: istilah untuk daging anjing. B2 adalah daging babi.
Bodat: monyet.
Begu ganjang: salah satu hantu dalam suku Batak.

No comments:

Post a Comment