Thursday, August 26, 2010

Peri Membeli Gigiku

Kisah ini terjadi pada usiaku yang keenam. Ketika aku masih belum mengenal benar antara dongeng dan sejarah, antara cerita dan nyata, antara mitos dan realitas. Sejak kanak-kanak, aku hanya hidup berdua dengan ibu. Aku tidak pernah mengenal ayah—apa itu ayah dan bagaimana sosok ayah. Pun tak pernah teringat olehku untuk menanyakan soal ayah. Maka ibu bersikap serupa. Ia tidak pernah menyebutkan soal ayah. Seolah ia adalah Mariam yang mampu mengandung diriku tanpa butuh kehadiran laki-laki. Seolah aku dilahirkan dengan doa. Doa yang dipanjatkan oleh ibu dan diamini oleh Tuhan. Akan tetapi, jika kau penasaran dan bertanya tentang asal usulku, maka kujawab: aku terlahir dari bilah bambu yang dibelah seorang kakek tua yang tanpa terduga mendapati sesosok bayi di dalam rongga bambu.

Bukan. Ini bukanlah kisah perempuan-perempuan perkasa, seperti yang ramai dituturkan oleh feminis. Tanpa bermaksud menyinggung atau pun membuat kecewa, ini sekadar dongeng anak. Cerita impian seorang bocah. Jadi, kalian tidak perlu khawatir akan menjumpai kata-kata vulgar atau tak senonoh. Semua kalangan usia dapat membaca dongeng ini; laki-laki dan perempuan.

Dongengku hanya dilakoni oleh dua tokoh: ibu dan aku. Latar tempat dan waktu tidak menjadi soal. Tapi, sebagaimana penamaan yang unik dan cantik berperan penting dalam dongeng, kalian bisa menyebut kisah ini terjadi di sebuah kota bernama Wonderland. Dan aku bernama Alice (ya, ya, aku memang menyukai Alice in Wonderland). Hari-hari dilewati dengan kebersamaan kami yang penuh keceriaan. Aku tidak pernah bersekolah—seperti impian semua anak kecil, mungkin. Duniaku adalah bermain. Semua mainan kumiliki, mulai dari Ludo, Ular Tangga, Monopoli, Lego, sampai kereta-keretaan lengkap dengan relnya yang panjang berkelok-kelok naik-turun. Boneka Tediku juga lengkap tersusun di atas tempat tidur.

Tapi lagi, sebagaimana “Buku Panduan Cerita Dongeng yang Baku”, di mana ada kebaikan, di situ ada kejahatan; di mana ada kebahagiaan, di situ ada kesedihan. Seperti Cinderella dan Snow White yang harus bertemu ibu tiri dan penyihir yang jahat, maka dongengku juga harus memiliki penjahat. Pun begitu, aku tidak mau Serigala licik yang mengganggu Gadis Kecil Berkerudung Merah hadir di sini. Penjahatku adalah Ibu yang Harus Bekerja Setiap Malam. Ya, walaupun aku memiliki semua permainan yang bisa menyenangkan hati, aku selalu merindukan kehadiran ibu untuk mengantarku tidur dengan sebuah cerita. Setiap malam ibu selalu tak ada. Aku tidak pernah mempertanyakan pekerjaannya. Akan tetapi, aku dapat mendengar bisik-bisik tetangga yang selalu berkoar jika melihat ibu keluar malam-malam.

“Huh, gendut gitu mana laku?” Cerocos salah satu ibu yang sebenarnya lebih gendut.

“Itu mah bukan gendut, montok euy!” Jawab ibu yang satu.

“Tapi, mukanya sih cantik juga kalau diperhatiin.” Bela ibu tukang sayur langganan ibuku.

“Ah, itu sih menang di pupur tebel sama gincu merah.” Balas ibu yang tahu-tahu ikutan nimbrung.

Aku merasa gondok mendengar ocehan ibu-ibu itu, walaupun aku tidak paham benar apa yang mereka gunjingkan. Aku merasa risih karena ibu dijadikan buah bibir, yang berarti aku juga mendapat status serupa. Namun, aku memiliki memori yang paling manis, yaitu ketika satu malam, hanya satu kali itu saja, ibu menceritakan dongeng tentang peri kecil yang mengurusi gigi anak kecil. Peri Gigi.

Alkisah, di Negeri Awan tinggallah ratusan peri kecil yang cantik dan baik hati. Peri-peri itu serupa manusia, ada laki-laki dan perempuan. Rambut mereka berwarna keemasan dan berkilauan. Ada yang lurus, juga ikal. Kulit mereka halus dan seputih porselin, tapi pipi mereka bersemu merah jambu. Kostum mereka juga berwarna putih dan selalu berkibaran dibelai angin. Ada beberapa peri yang membawa tongkat (seperti tongkat Harry Potter). Akan tetapi, tongkat peri juga berwarna putih, seputih kulit dan kostum mereka. Peri laki-laki yang populer adalah Cupid. Cupid selalu menggendong busur dan anak panah dalam tugasnya. Sesuai dengan ukiran berbentuk hati yang terdapat di ujung anak panahnya, tugas Cupid adalah menyebarkan rasa cinta ke dalam hati manusia.

Peri perempuan yang paling kusukai—tentu saja karena menjadi dongeng pengantar tidurku setiap malam—adalah Peri Gigi. Tugas Peri Gigi adalah menjaga gigi susu anak kecil yang baru saja copot dari gusinya. Konon, Peri Gigi sangat baik hati terhadap anak kecil, terutama anak yang rajin menyimpan giginya yang copot. Jika kita mulai merasa gigi nyut-nyutan dan akan segera copot, maka sang ibu harus menyiapkan sebuah kantung sebagai tempat menyimpan gigi itu. Setelah gigi itu benar hengkang kaki, masukkan ke dalam kantung. Lalu, letakkan kantung itu di bawah bantal. Malamnya, Peri Gigi akan mendatangi kamar kita. Ia akan mengambil gigi kita dan menukarnya dengan uang. Jumlah uang itu tergantung pada keadaan gigi kita, apakah masih bagus atau sudah bolong-bolong.

Cerita itu membuatku menanti gigi susuku untuk cepat copot. Aku ingin memiliki uang yang dihasilkan dengan darah sendiri. Oleh sebab itu, setiap hari aku menunggu kapan gigiku akan pindah rumah—dari mulut ke kantung. Untungnya, tak berapa lama kemudian, gigi taringku yang di atas sebelah kanan copot. Meskipun mengeluarkan darah tak sedikit, hatiku senang dan puas. Tibalah saatnya menyambut kunjungan Peri Gigi. Segera aku minta sebuah kantung kepada ibu. Ibu yang merasa kasihan dengan wajahku yang masih meringis kesakitan lantas memberikan dompet kecil berwarna merah jambu. Dompet itu bergambar pelangi lengkap dengan awan-awannya.

Malamnya, aku menyimpan dompet itu tepat di bawah bantal. Aku tidak peduli walaupun dompet itu mengganjal bantalku yang tipis dan membuat kepalaku tidak nyaman (bantal itu adalah satu-satunya barang buluk dalam dongeng ini). Aku yakin Peri Gigi akan memberi uang banyak karena gigiku masih bagus. Bahkan sebelum dimasukkan ke dalam dompet, aku telah menyikatnya dengan odol. Sebelum tidur, tak lupa aku berdoa kepada Tuhan agar mengingatkan Peri Gigi untuk tidak bolos malam ini. Doaku terjawab. Begitu terbangun keesokan paginya, buru-buru kubalik bantal untuk melihat dompet itu. Lenyap. Dompet itu tidak ada di sana. Kucari-cari di sekitar tilam, ternyata dompet itu jatuh ke bawah. Segera kuraih dan kubuka dompet itu. Oh, ternyata cerita ibu benar-benar nyata. Kulihat uang lembaran sepuluh ribu terlipat di dalamnya.

Sejak itu, aku terus berniat mendapatkan uang dari gigi susuku. Aku ingin menunjukkan kepada ibu bahwa aku juga bisa menghasilkan uang—bukan hanya dirinya. Bahkan aku akan mengumpulkan uang itu untuk sekolah. Ya, sesungguhnya aku sangat ingin bersekolah seperti yang dilakukan anak-anak kecil lainnya. Yang selalu riang padahal baru saja terjatuh ketika bermain lompat tali. Aku ingin merasakan bagaimana malunya karena teman laki-lakiku menyingkap rok merahku sehingga celana dalamku yang berenda terlihat jelas. Setelah itu mereka akan memanggilku: Gadis Bercelana Dalam Renda.

Namun, gigiku tidak menunjukkan tanda-tanda untuk copot lagi. Aku sedih sekali. Bagaimana caranya agar gigiku copot. Aku teringat pesan ibu bahwa coklat dan permen dapat merusak gigi anak kecil. Hmm, jika gigiku rusak maka akan lebih cepat copot, begitu simpulku singkat. Lantas setiap hari kubeli permen dan coklat dengan uang dari Peri Gigi. Waktu senggang kuhabiskan dengan mengulum dan mengunyah permen. Segala merk dan rasa kucoba. Mulai dari rasa coklat, kopi, buah-buahan, sampai rasa odol.

Seminggu setelah aksi sikat semua permen itu, gigiku terbukti sakit. Geraham bawah kananku terlihat hitam dan bolong. Kepalaku sakit menahan ngilu dan nyeri. Enam hari berlalu namun gigiku masih diam. Akhirnya aku protes kepada ibu mengapa gigiku tak bisa copot. Apakah ibu bohong karena tidak ingin melihatku berhasil mendapatkan uang. Aku tidak pernah melarang ibu keluar setiap malam. Jadi, ibu juga tidak boleh menghalangi keinginanku. Ia menjawab, geraham biasanya memang copot paling terakhir. Gigi depanlah yang lebih awal copot. Aku pun ganti siasat. Permen dan coklat tidak berhasil mengusir gigiku. Jadi, aku memutuskan tidak gosok gigi sampai gigiku mau copot. Dengan harapan gigi yang kotor akan mempercepat kerusakan gigi. Seminggu kujalani siasat itu. Setiap pagi aku berpura-pura gosok gigi ketika ibu menyuruhku mandi. Padahal aku hanya berkumur-kumur. Ibu tidak menyadari bahwa mulutku begitu bau karena aku mengunci mulutku agar baunya tidak menyeruap.

Tuhan membalas usahaku. Gigi seriku yang di bawah terasa sakit dan goyang. Aku pun memaksa mencabutnya hari itu juga. Aku melihat wajah ibu tidak menyiratkan rasa senang. Mungkin ia cemburu karena aku akan mempunyai uang lebih banyak darinya. Malamnya, aku kembali melaksanakan strategi sebelumnya. Malamnya, aku kembali melaksanakan strategi sebelumnya. Menyimpan gigi itu di dalam dompet dan taruh di bawah bantal. Lagi-lagi aku berdoa mengingatkan Tuhan agar menyuruh Peri Gigi tidak datang terlambat. Di tengah kelamnya malam aku terbangun karena mendengar suara pintu yang bergeser. Kulihat ada seseorang bersimpuh di samping ranjangku. Aku menebak: itulah Peri Gigi! Ternyata tubuh peri tidak kecil seperti dalam imajinasiku—tubuhnya sebesar manusia. Lantas aku memalingkan wajah agar ia tidak pergi karena aksinya ketahuan olehku. Aku segera tidur agar bisa lebih cepat bangun untuk membuka peti harta karunku esok.

Ketika sarapan di meja makan. Aku sampaikan kemenanganku kepada ibu.

“Bu, lihatlah. Semalam Peri Gigi membeli gigiku lagi. Uangku sekarang menjadi banyak.” Aku pamerkan lembaran-lembaran puluhan ribu kepada ibu.

“Baguslah, Nak. Untuk uang jajanmu.” Ibu menjawab pelan. Aku tahu ibu cemburu kepada Peri Gigi.

“Ya, aku sayang kepada Peri Gigi. Ia selalu datang ke kamarku. Aku punya Peri Gigi. Jadi, ibu boleh pergi setiap malam.”

“Oh.” Aku tidak tahu arti wajah ibu.

“Peri Gigi akan membayar uang sekolahku.”

“Baguslah.” Ibu menjawab singkat.

“Aku tidak perlu ibu.”
***

Itulah dongengku. Kini aku menyesali perkataanku dahulu. Kini aku tahu bahwa ibu sangat menyayangiku. Kini aku tahu bahwa ibu yang selalu menyelipkan uang ke dalam kantung gigiku. Kini aku benar-benar tahu mengapa ibu harus bekerja setiap malam sampai pagi menjelang. Kini aku tahu siapa ayahku dan mengapa ia tidak peduli pada kami. Kini aku tahu mengapa ibu menceritakan dongeng Peri Gigi yang sesungguhnya berasal dari negara Barat padahal kami tinggal di Indonesia—cerita mengenai gigi susu di sini adalah gigi yang tanggal harus dibuang ke bagian atas rumah atau ke arah langit.

Kini ibu sakit dan terbaring lemas di tempat tidur. Kini aku siap melanjutkan pekerjaannya. Dan di Hari Ibu ini, dongengku yang sesungguhnya baru saja dimulai…


Jakarta, November 2009.

No comments:

Post a Comment