Friday, May 22, 2009

Pornografi: dari Motinggo Busye sampai Ayu Utami

Berangkat dari sebuah pernyataan yang disampaikan Medy Loekito dalam Jurnal Perempuan No. 30 Tahun 2003, terbetik sebuah tanya dalam hati. Sebegitu komplekskah masalah penulisan sastra saat ini? Sastra harus menjadi sumber moral dan intelektual. Sebegitu beratkah beban yang harus dipikul karya sastra. Tulisan ini paling tidak ingin menanggapi hal tersebut.


…Dengan ditasbihkannya penulisan seks secara gamblang tersebut sebagai karya sastra fenomenal, kini mulai tampak kecenderungan para penulis, baik pria maupun wanita, berbondong-bondong kulakan kata vagina, penis, dan yang sejenisnya. Perihal sekitar seksualitas dan erotisme menjadi tema yang paling diminati dan digandrungi. Kata “tabu” menjadi kata paling asing dalam sastra dewasa ini. Semakin terbuka sebuah tulisan, semakin riuh pembaca bertepuk tangan, dengan catatan: penulisnya kudu perempuan, sebab kalau bukan perempuan, disebutnya penulis cerita porno, bukan sastrawan. (hlm. 70)


Pernyataan tersebut merupakan reaksi kritis atas maraknya perempuan penulis (menggunakan istilah Jurnal Perempuan) yang merayakan kebebasan diri mereka melalui tulisan yang mengeksploitasi tubuh perempuan, tubuh mereka sendiri. Tak dapat dinafikan bahwa gejala penulisan populer ini mengingatkan kita pada fenomena sastra populer yang lampau, pada tahun ‘60—’70-an.

Ketika itu, Motinggo Busye, penulis populer paling produktif , mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kritikus sastra, mengenai nilai seni karya-karyanya. Hal ini terjadi pada ceramah berjudul “Thema2 Jang Saja Pilih” yang diadakan Busye untuk membahas karya-karyanya pada 9 November 1969 di Teater Arena TIM. Satyagraha Hoerip mempertanyakan jikalau karya-karya Busye masih mempunyai iktikat literer atau berdasarkan pertimbangan hiburan semata. D.S. Muljanto pun menambahi jikalau karya-karya yang digemari anak muda tersebut hanya dibuat berdasarkan pesanan. Busye menjawab, “literer atau tidak itu terserah pada para kritisi untuk menilainya, tapi tugas seorang pengarang adalah mengarang.” Lebih lanjut, karya-karyanya dianggap porno dan dilarang peredarannya oleh pemerintah karena dinilai dapat merusak moral masyarakat dan mendorong perbuatan asusila.

Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Loekito benar adanya: bahwa kalau yang menulis soal seksualitas dan erotisme harus perempuan, kalau laki-laki akan dicap penulis porno. Namun, perlu dicatat bahwa pernyataan ini muncul sebagai kritik Loekito terhadap perempuan penulis yang terlalu bangga menulis tubuh (seksualitas) mereka sebagai bentuk pemberontakan terhadap tradisi sastra yang patriarkat, dan lupa bahwa hal tersebut justru menjadi senjata makan tuan, menjebak mereka dalam pelecehan terhadap diri sendiri dan sesamanya (perempuan) yang menjurus pada pornografi semata.
Secara etimologis, seksualitas adalah ‘ciri, sifat, atau peranan seks, dorongan seks, kehidupan seks’ (KBBI, 2005: 1015). Erotisisme atau erotisme adalah ‘keadaan bangkitnya nafsu birahi’ dan ‘keinginan akan nafsu seks secara terus-menerus’ (Ibid., 307). Mengacu pada definisi tersebut, kutipan berikut dapat mewakili peristiwa yang dimaksud.


... Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduannya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit. (Busye, 1970: 98—99)

Tetapi lelaki itu belum habis menghujamkan zakar, dalam pandangan semua binatang di taman (kelak mereka lalu menirunya, dan anak-anak mendengar dari orang tua mereka sebagai permainan perang-perangan). Pinggulnya bergoyang hingga cair kelenjarnya menyembur di dalam liang, yang harum birahi. (Utami, 1998: 198)


Berdasarkan dua deskripsi hubungan intim atau persenggamaan tersebut, terlihat style dan, bahkan tone, yang sangat berbeda. Busye mengungkapkan persenggamaan dengan bahasa yang metaforis dan konotatif: sedang dalam kenikmatan, terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi, bagian leher gadis itu, sebuah lipatan kaki yang menggerumul. Walaupun terasa hiperbola, namun ungkapan tersebut berusaha membahasakan hubungan intim manusia dengan baik. Lain lagi dengan Utami, gayanya realis dan denotatif: menghujamkan zakar, pinggulnya bergoyang, cair kelenjarnya menyembur di dalam liang, harum birahi. Ungkapan tersebut terasa begitu eksplisit dan bernada (tone) berani, cenderung kasar.

Bandingkan ungkapan senggama antara sedang dalam kenikmatan dan menghujamkan zakar. Busye memperlihatkan bahwa hubungan intim berupa penetrasi penis ke dalam vagina sebagai pengetahuan bersama yang tak perlu diutarakan lagi secara eksplisit. Asosiasi makna yang diciptakan masing-masing pembaca tentu akan terasa lebih nikmat dan efektif, melihat karya sastra sebagai sumber apresiasi seni. Upaya Utami dalam membahasakan senggama dengan nyata dan jelas, menjerumuskan pembaca dalam sebuah realitas yang memonopoli kebebasan akal dalam berkreasi.

Melihat perbandingan penulisan seksualitas tersebut, sesungguhnya kita bisa mengetahui semangat zaman apa yang melingkupi mereka. Busye dengan masa populer ’70-an yang penuh romantika dan sentimentalitas, dan Utami dengan masa populer kini yang menempatkan seksualitas sebagai upaya pembebasan diri, membahasakan tubuh.
Namun, perlu diingat kembali perihal cap porno yang menimpa Busye. Penjelasan di atas paling tidak mengajak kita untuk seyogyanya berlapang dada memaknai sebuah karya. Menurut sejarah, porno berasal dari bahasa Yunani porne, yaitu ‘pelacur’. Pornografi adalah ‘penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi’ dan ‘bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks’ (KBBI, 2005: 889).

Persoalan pornografi dalam sastra tidak terlepas dari dua kriteria, yaitu organis atau tak organisnya unsur seks dan permainan atau kesungguhannya (Sastrowardoyo, 1971: 24). Karya yang pornografis adalah karya yang memasukkan unsur seksualitas dan erotisme sebagai kesatuan yang tidak organis (tidak mendukung kesatuan cerita dan suasana, merusak estetika karya seni, dan dapat dihilangkan karena tidak fungsional) dan menggambarkan seks sebagai unsur permainan, bukan kesungguhan (sebagai amanat pokok yang ingin dicapai karya). Selain itu, penyikapan terhadap pornografi tergantung pada konteks sosial zaman. Lapisan masyarakat, baik atas, menengah, maupun bawah, dan generasi, tua dan muda, yang berkompromi menentukan pertimbangan atas batas-batas nilai pornografi yang bersumber dari nilai-nilai moral umum (Ibid., 28).

Dalam kaitannya dengan fungsi sebagai sumber moral dan intelektual, maka penjelasan di atas dapat menjadi acuan dalam menyelami sebuah karya, dan akhirnya menentukan baik-buruk. Kita harus mendalami karya terlebih dahulu dan tidak buru-buru mencap porno sana-sini. Mengenai begitu beratnya beban yang harus dipikul karya sastra, tampaknya tidak perlu dipertanyakan lagi. Itu sudah menjadi risiko yang harus ditanggung sebuah karya karena menjadi buah pikiran manusia, si pencipta moral dan penurut moral. Akhir kata, Bacalah sebelum Berkoar!



Sumber Pustaka
Busye, Motinggo. 1970. Kutemui Dia. Jakarta: Lokajaya.
Loekito, Medy. “Perempuan Sastra Pria”, Jurnal Perempuan Nomor 30 (Juli 2003), 65—76.
Sastrowardoyo, Subagio. 1971. Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Pusat Bahasa Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
“Karangan2 saja punja mission, kata Motinggo”, Pedoman Nomor 336 Tahun 21 (10 November 1969).
“Motinggo Busye: Dari Pop ke Sastra”, Pelita Nomor 3185 Tahun XI (13 Maret 1985).
“Pembersihan Buku2 Porno”, Warta Harian Nomor 859 Tahun IV (22 Mei 1969).
“Razia Buku2 Merangsang”, Indonesia Raja Nomor 99 Tahun 21 (10 April 1969).


1 comment:

  1. setuju ini: Upaya Utami dalam membahasakan senggama dengan nyata dan jelas, menjerumuskan pembaca dalam sebuah realitas yang memonopoli kebebasan akal dalam berkreasi.

    jadi ga seru itu...

    setuju ini juga: Bacalah sebelum Berkoar!

    hahaha, terlalu banyak orang yang suka main ngoceh aja soalnya

    soal erotisme sebagai unsur organis dalam suatu karya, gw jadi inget film asia (lupa negara mana, apalagi judulnya, kayanya sih asia timur) yg mengalami sensor, trus pembuatnya komplain, adegan yg disensor (cewek gila main2in anunya anak cowok) paling vital n berfungsi menguatkan apa yang dia maksud dalam film ini (kondisi si cewek gila), sayang sekali...

    ReplyDelete