Monday, May 18, 2009

Kosmologi Cerpen Korea (Selatan): di antara Laut, Pabrik, dan Kereta Api [Juara Pertama Lomba Penulisan Esay Cerpen Korea 2008]

Kosmologi Cerpen Korea (Selatan): di antara Laut, Pabrik, dan Kereta Api.


Membaca cerpen, sebagai anak dari genre prosa, ternyata tidak melulu sempit seperti pembatasan halaman maupun panjang karangan yang mencirikannya. Cerpen juga memiliki kualitas cerita yang sama padatnya dengan novel, anak lainnya prosa, baik dari segi penokohan, alur, maupun konflik cerita. Ada kalanya kita dapat melepas kaca mata kuda yang dipakai dalam memandang sebuah karya. Diperlukan pandangan yang luas dan pikiran terbuka untuk menyelami sebuah karya, tidak hanya berkutat pada konvensi. Damono (2004: xii) dalam sebuah kata pengantar menyatakan bahwa dalam cerpen mungkin saja terbentang kehidupan yang sama dahsyat dan luasnya dengan yang kita jumpai dalam novel Tolstoy ataupun haiku Basho.

Di Indonesia kita terbiasa dicekoki dengan karya-karya masterpiece dari negeri Barat lewat beberapa laureat Nobel Sastra. Sebut saja T.S. Elliot (Inggris), Pearl S. Buck dan Ernest Hemingway (Amerika Serikat), Albert Camus dan Jean Paul Sartre (Prancis), Boris Pasternak dan Mikhail Sholokhov (Rusia), Samuel Beckett (Irlandia), dan Pablo Neruda (Cile). Jika melirik Asia, mencuat nama Rabindranath Tagore (India) dan Yasunari Kawabata (Jepang). Karya mereka yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat kita temukan di rak-rak toko buku. Kendati demikian, karya dari belahan benua kita sendiri terasa sangat kurang. Padahal Asia pun kaya akan alam dan budaya. Kenapa hanya Buddha (Deepak Chopra) dan Totto-chan (Tetsuko Kuroyanagi) yang menyedot pandangan kita di toko buku. India lagi. Jepang lagi. Semiskin itukah karya-karya dari Asia.

Di tengah kepengapan itulah muncul seberkas angin segar. Korea (Selatan) membagi semarak warna-warni dunia sastranya lewat kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Penerbitan ini adalah bentuk kerja sama antara Indonesia dan Korea yang digawangi oleh Koh Young Hun dan Tommy Christomy. Sebagai pengajar yang pernah mengabdi di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul (2005—2007), Christomy mengenal baik serba-serbi kehidupan Negeri Ginseng itu sebagaimana teman sejawatnya, Koh Young Hun. Timur dan Tenggara pun bersatu padu memamerkan kebudayaan dan kesusatraan.

Dengan tangan dingin Hamsad Rangkuti, dua belas cerpen Korea (Selatan) dari dekade 1950-an sampai 2000-an terasa begitu nyaman dinikmati. Perbedaan bahasa dan istilah dapat disiasati dengan diksi yang memukau. Membaca kumpulan cerpen ini seperti membaca karya anak negeri sendiri. Perbedaan kebudayaan yang merintangi pemahaman cerita lenyap oleh kematangan citra penyampaian. Kehadiran kesusastraan ini tentu sangat menguntungkan. Pembaca memperoleh cakrawala baru dalam apresiasi seni, sedangkan pengamat (kritikus) mendapat mangsa baru yang dapat menawarkan rasa lapar akan santapan bermutu dan memuaskan. Pembicaraan atas cerpen-cerpen Korea yang ceritanya membentang luas tentu menjadi aktual dan menarik.

Seperti belahan dunia lain di Bumi, Korea tak luput dari daulat peperangan. Jika Indonesia disibukkan dengan kolonialisasi Belanda dan Saudara Tua Jepang, maka Korea berkutat pada konflik yang berujung perang dingin. Saudara sekandung terpaksa berpisah karena perbedaan konsep: ideologi dan kebangsaan. Figur IbuKorea tak mampu menaungi AnakKorea sehingga terpecah ke Utara dan Selatan. Namun dalam jiwa mereka berkecamuk rindu dan dendam: rindu pada persatuan lampau, dendam pada perpecahan kini. Jiwa adalah manusia; yang selalu menjadi korban keadaan yang menjungkirbalikkan.

Jiwa yang haus akan dongeng kanak-kanak yang penuh fantasi dan mimpi pun menemukan dirinya pada sastra. Sebagaimana manusia menemukan Realitas Tertinggi dalam dirinya sendiri melalui akal budi, kesusastraan pun berlaku sama. Sastra mendapati Realitas Tertinggi dalam dirinya melalui hamparan cerita mahadahsyat yang diwakili oleh tangan pengarang. Pena-pena bergerak dari satu mimpi ke mimpi lainnya, dari satu realitas ke realitas lainnya.

Manusia dan peperangan jiwa dan fisik mewujud dalam cerpen Korea (Selatan) dekade 1950-an. Cerpen “Dua Generasi Teraniaya” karya Ha Geun Chan menyampaikan perasaan seorang Ayah dan putranya dengan penuh haru. Hakikat perang adalah mengorbankan rakyat sipil. Tentara pun merupakan rakyat sipil di lain pihak. Peran ganda ini yang tersemat pada diri Mando. Ia pernah menjadi tentara dan mengorbankan salah satu lengannya, lalu menjadi rakyat sipil yang menanggung derita karena putranya ganti berperang.

Putranya, Jinsu, bernasib sama, kehilangan salah satu kakinya. Realitas memang tak selalu berakhir dengan hal yang serba ideal dan sesuai dengan keinginan. Ayah bertangan buntung, anak berkaki buntung. Dua generasi ini kembali pada masa kepompong: buruk dan tidak sempurna. Namun, mereka akan menempuh sebuah tahap dalam siklus hidup yang tentu berujung baik, menjadi kupu-kupu. Menjalani masa-masa damai dengan saling melengkapi. Jerih payah Mando menggendong Jinsu menyeberangi titian sungai tentu adalah romansa tersendiri.

Kesatuan perasaan ditemukan dalam kumpulan cerpen ini. Adanya keterbukaan dan keinginan mengemukakan segala persoalan dalam diri dan masyarakat. Pergolakan itu seolah diangkat dari kedalaman laut dan diantar ke pesisir agar disaksikan oleh semua orang. Dalam “Seoul Musim Dingin 1964” karya Kim Seung Ok, tokoh Bung Kim dan Ahn bertemu dengan seorang pria di sebuah sonsuljip, warung minuman keras dan makanan. Si Lemah, sebutan pria itu, baru kehilangan istrinya akibat radang selaput otak. Ia mengajak Bung Kim dan Ahn untuk menghabiskan uang empat ribu won hasil menjual mayat istrinya.

Tindakan tersebut sungguh ironis dan menyedihkan. Itulah hidup. Meskipun berat, harus dihadapi. Sebuah peristiwa yang mungkin sangat pribadi dapat saja dikuak jika begitu mengganjal. Si lemah yang kehilangan arah dan tujuan tidak ingin mengakhiri hidup seorang diri. Manusia kembali pada kodratnya, selalu membutuhkan orang lain. Bunuh diri adalah jalan yang harus dihargai. Keberanian untuk mengakhiri hidup yang konon belum waktunya tentu merupakan pilihan yang luar biasa.

Laut sebagai galeri segala persoalan yang bercampur aduk dalam kehidupan telah melukiskan perjalanan berat kaum buruh yang memberontak pada dekake 1980-an. Di tengah gelombang industrialisme, ada kapitalisme dan borjuisme yang mencekik leher kaum bawah. Ketika industri semakin maju, manusia semakin mundur kualitas hidupnya. Upah minim dan penderitaan fisik buruh berbanding terbalik dengan pemilik modal yang mandi emas. Karl Marx dan materialismenya sangat mengutuk ketimpangan status sosial ini. Manusia teralienasi, merasa terasing dari kodratnya sendiri karena sistem yang menindas. Dengan upah yang kecil pekerja terus dipaksa membanting tulang. Kaum buruh harus bangkit dan menuntut hak mereka karena merekalah penentu produksi.

Cerpen “Dinihari ke Garis Depan” dengan rinci mengalirkan suasana dan emosi setiap tokoh. Melalui alur maju dan mundur, kita seolah diajak menonton setiap adegan dalam perjuangan para buruh perempuan PT Se Gwang dalam menuntut kenaikan upah harian. Sebagai kaum tertindas, mereka protes terhadap kesewenangan, terlebih setelah menyaksikan kematian Cheol Sun, Sang Pendiri Serikat Buruh. Dengan pesan “luka buruh harus diobati dengan perjuangan”, mogok selama lima bulan dijalani Min Young, Mi Jeong, dan buruh lainnya—di antara makanan yang seadanya dan musim yang membekukan. Realisme jelas hadir di sini: ketika sastra tidak membatasi diri pada kenyataan idyll atau lingkungan hidup elit saja (A. Teeuw, 2003: 192).

Pada hakikatnya karya-karya sastra selalu mengembuskan semangat zaman dan napas lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya (Andre Hardjana, 1981: 11). Lalu semangat apa yang berkumandang di sini, napas apa yang bergejolak; bahwa perjuangan manusia untuk memilih dan menentukan nasib tidak ada habisnya. Harus terus dipertahankan selama kita bernaung di dunia. Pantai yang penuh limbah pabrik pun masih setia menaungi burung-burung camar, meski tak mampu memberikan penghidupan layak. Buruh tak ubah burung camar, tetap bertahan di kubangan hitam itu. Yang membuat perbedaan adalah usaha untuk memperbaikinya menjadi kubangan yang nyaman dan menghidupi. Cerpen ini adalah sebuah hidangan utuh, representasi atas sepenggal masa.

Persamaan nasib mampu menyatukan perbedaan dan membangun tonggak yang kokoh. Perjuangan buruh PT Se Gwang pun adalah bentuk nasionalisme dari perspektif yang lain. Dari kebersamaan dan rasa sepenanggungan kaum buruh. Namun, cerpen “Sungai Dalam Mengalir Jauh” karya Kim Yeong Hyeon justru menghadapkan nasionalisme dan komunisme dalam sebuah lingkaran. Kakak beradik Man Gi dan Gi Ho hidup di tengah masyarakat yang menghujat komunisme. Gi Ho yang ikut berdemonstrasi di kampus dijebloskan ke penjara dan dianggap anak golongan merah. Dalam cerpen “Kerja, Nasi, Kebebasan” karya Kim Nam Il, persoalan beralih pada lingkup pribadi seorang pekerja. Fokus pada pergulatan individual, sebuah konflik batin yang mendalam. Seorang pria terjebak di antara pekerjaan yang berat, penghasilan demi sesuap nasi dan biaya untuk keluarga, dan jeruji besi yang mengancam kebebasan. Keresahan dan kebimbangan mengintai di sela-sela semangat untuk bangkit demi Ibu.

Kebangkitan kaum buruh bermula dari industrialisasi yang merajalela di berbagai daerah di Korea pada tahun 1970-an. Mengikuti revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad sebelumnya. Kapitalisme memegang kendali. Sementara itu, lingkungan alam dan kehidupan masyarakat berubah. Lahan pertanian dihajar dan pembangunan melesat. Gedung-gedung dan pabrik bertahta. Pola pikir masyarakat berubah. Dari kolektivisme dan paguyuban berubah menjadi individualisme dan egoisme.

Cerpen “Jalan ke Sampho” karya Hwang Sok Yong dan “Bung Kim di Kampung Kami” karya Lee Moon Goo dengan gamblang memaparkan perubahan sosio-ekonomi yang terjadi. Dalam “Jalan ke Sampho”, Young Dal bertemu Chung yang ingin pulang kampung ke Sampho. Meskipun sudah sepuluh tahun pergi dan tidak ada orang yang dikenal di Sampho, ia memutuskan kembali. Rasa cinta dan memiliki kampung halaman mampu menyemangati jiwa Chung yang membeku. Salju yang menggunung tak menjadi penghalang. Young Dal yang semula berlawanan arah tujuan pun memutuskan jalan bersama Chung. Lalu mereka bertemu Baek Hwa, wanita penghibur yang sedang melarikan diri dari majikannya. Perempuan berumur dua puluh tahun itu begitu menderita, terjerat dalam dosa. Ia adalah korban dari kepentingan ekonomi majikannya, sebuah komoditi bisnis.

Modernisasi pun menghantam Chung. Kampungnya yang penuh dengan ikan dan kentang sudah rata dengan tanah. Pembangunan hotel dan pasar telah menyingkirkan desa tercinta. Ia pulang dengan rasa kehilangan tempat bersandar, sedangkan Young Dal melihatnya sebagai peluang kerja. Perubahan zaman memang mulai mereka sadari. Melalui Baek Hwa, mereka dapat melihat manusia masa kini yang berusaha bertahan dengan tuntutan zaman. Namun, Young Dal dan Chung belum siap bertempur dengan zaman. Berikut kutipan dialog mereka.

“Bukan. Maksudku Baek Hwa. Perempuan seperti itu... tidak bisa bertahan di kehidupan kampung tiga empat hari.”

“Tergantung siapa orangnya. Tapi aku pikir pun begitu. Zaman ini keaadan manusia cepat berubah... ” (Laut dan Kupu-kupu: 70)

Kepiawaian Hwang Sok Yong dalam menggambarkan perubahan zaman senada dengan Lee Moon Goo yang mengisahkan keterasingan kehidupan desa dalam cerpen “Bung Kim di Kampung Kami”. Ketika musim panas menyergap, sawah-sawah di Kampung Nolmi di Desa Musori kekeringan. Biasanya para petani akan menyalahkan langit dan mencari bantuan pada Dinas Pengairan. Seiring perkembangan zaman mereka sadar harus berusaha sendiri menyiasati ulah alam.

Kim Sung Du pun berpikir demikian. Sawahnya yang terletak di ketinggian membuat air bendungan tidak dapat mengalir ke sana. Ia meminjam uang demi membeli selang dan menyewa pompa untuk menarik air. Namun, Kim dituduh mencuri air. Ia kecewa dan marah. Kekeringan harus segera ditangani karena manusia butuh makan dan uang. Tak terasa lagi kebersamaan dan kekeluargaan sebuah kampung. Setiap orang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, tanpa memikirkan orang lain. Modernisasi telah melanda perkotaan dan banyak istilah asing dipakai, misalnya satuan luas hektar. Namun, kampung tidak merasakannya. Hanya sistem sosial masyarakat yang berubah, sedangkan ekonomi tetap sama. Petani tetap miskin dan luas sawah mereka masih sebatas pyong (kira-kira 3 m2). Industrialisasi tidak serta-merta memberi kehidupan yang maju dan lebih baik.

Nuansa inovatif muncul pada perjalanan kesusastraan Korea dekade 1990-an. Kisahan cerpen mulai beralih pada lingkup pribadi. Bereksperimen pada pribadi manusia dan hubungan emosionalnya dengan manusia lain; hubungan kakak-adik, ayah-anak, dan suami-istri. Tema yang menyempit menawarkan kedalaman cerita yang menawan. Realisme mulai lengser dengan inovasi pada mitos dan magis. Tokoh bertukar-tukar sejalan dengan kelincahan cerita dan latar. Kesedihan dan kenangan akan perang telah berlalu dan berganti dengan konflik pribadi. Dalam cerpen “Kisah Singkat tentang Pekarangan” karya Shin Kyong Suk, mitos hantu berkeliaran semaunya di antara jalinan alur dan penokohan. Kenyataan dan magis bercampur aduk menyebabkan kerancuan. Sesuatu yang tadinya menakutkan dan tidak diterima akal sehat berubah menjadi sebuah realitas yang berterima.

Tokoh ‘Saya’ adalah seorang laki-laki yang menghadapi kehidupan hampa setelah ditinggal pergi adik perempuannya yang menikah. Rasa kesendirian mencuat di antara pencarian Si Saya akan sebuah apartemen baru. Di sela-sela kenangan dan kerinduan pada adiknya, Saya bertemu dengan gadis yang selalu mendekap seekor ayam. Gadis itu selalu hadir di tengah kehampaan dan rasa bosan Si Saya. Meskipun gadis itu adalah hantu yang datang dan pergi lintas ruang dan waktu, kehadirannya mengobati kesendirian Saya. Pencarian gadis itu akan orang yang melupakannya, saudara laki-laki kembarnya, serupa dengan rasa kehilangan Si Saya akan adiknya. Mereka seolah saling melengkapi. Intimitas pun terjalin melalui sebuah dialog tatap muka di dalam kamar Saya.

Intimitas serupa dapat kita temukan dalam cerpen “Seseorang telah Mengubah Susunan Mawar itu” karya Gabriel García Márquez. Cerpen ini mengisahkan ‘Aku’, hantu laki-laki yang tinggal di sebuah rumah kuno bersama adik angkatnya. Ia meninggal 20 tahun silam, namun masih berdiam di sana untuk menemani perempuan yang disayanginya. Kedekatan mereka terjalin karena Si Aku selalu mengubah susunan bunga mawar yang ada di altarnya. Ia berharap Sang Adik dapat merasakan kehadirannya: bahwa mereka selalu bersama. Romantisisme hubungan kakak-beradik ini paling tidak senada dengan cerpen di atas.

Konflik hubungan ayah dan anak terlukis dalam cerpen “Pewarisan” karya Eun Hee Kyung. J, seorang laki-laki yang sudah berkeluarga harus menghadapi suka-duka kehidupan Sang Ayah yang sakit. Nilai kekeluargaan diuji ketika masalah menghadang. Penyakit ayahnya justru memperlihatkan bagaimana jalinan persaudaraan yang ada; di antara ayah-ibu, ayah-anak, dan kakak-adik. Topeng yang selama ini dipakai mulai terkuak. Berbagai kepentingan berbenturan. Namun, semua itu kembali mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Kematian Sang Ayah pun dihadapi dengan ikhlas.

Dalam “Laut dan Kupu-kupu” karya Kim In Suk, kita menemukan kegalauan yang mendalam. Seorang istri harus menjalani hidup berjauhan dengan suami. Istri di China, suami di Korea. Kehidupan rumah tangga mereka sangat memprihatinkan. Komunikasi tidak terjalin, bahkan Sang Suami tidak berhasrat lagi pada Sang Istri. Jika permasalahan sudah menginjak ranjang, pernikahan terancam. Sang Suami tak merasakan kehadiran istrinya. Sang Istri pun seolah melakukan monolog di atas panggung.

Rasa terpinggirkan mendorongnya pergi ke China. Dengan harapan Sang Suami mencegah. Jarak dimanfaatkan agar suaminya merasa kehilangan, namun tidak berhasil. Sang Istri pun terombang-ambing di negeri orang. Berharap akan sampai ke tepian, menyisir pantai, dan berkompromi dengan pasir. Seorang istri akan terus memeluk suami, walaupun Sang Suami tak mau. Akan terus mencintai, walaupun tak berbalas. Untuk apa kembali menjadi kepompong jika telah menjadi kupu-kupu. Yang dapat terbang bebas dan melihat keindahan hidup. Berikut kutipannya.

Walaupun tanpa lengan dan kaki, saya ingin memeluk tubuhnya. Dia tidak bisa memeluk saya karena tanpa tangan. (Laut dan Kupu-kupu: 304)

Cerpen Korea (Selatan) dekade 2000-an bergulir sejalan perkembangan zaman dan pikiran manusia. Kisahan semakin imajinatif dan menyentuh wilayah yang tak biasa. Tema-tema sederhana namun unik yang berpadu dengan style absurd membuat cerita lebih berwarna dan mengaduk jiwa. Hal ini terlihat pada cerpen “Betulkah? Saya Jerapah” karya Park Min Kyu. Tokoh ‘Saya’ adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai pushman, orang yang membantu penumpang agar cepat masuk ke dalam kereta bawah tanah. Pekerjaan ini terbilang asing di Indonesia, namun tentu kita paham bagaimana kesibukan transportasi kereta api.

Cerpen ini memperlihatkan bagaimana hubungan Korea dengan kereta api. Ada sebuah kosmologi di sana. Ketika dunia berputar pada setiap gerbong. Gerbong yang padat penumpang dengan segala persoalannya. Bagi Si Saya hidup pun adalah sebuah formula. Sebuah matematika. Yang penuh dengan rumus dan perhitungan. Ada kalanya kita salah memakai rumus dan alpa menghitung sehingga diperlukan sebuah kecermatan.

Kesadaran Si Saya akan bumi yang berputar pada porosnya serupa kereta api yang terus berputar pada lintasannya, pada rel. Hidup dirasakannya hanya sebuah dorongan, tanpa tarikan. Manusia dengan mudah dapat memasuki sebuah dunia, namun tak mampu meloloskan diri. Harus ada kuasa lain yang membantu kita. Namun Tuhan tidak hadir. Cerpen ini adalah gambaran ketika manusia terdorong dan terjerembab dalam kehidupan yang monoton. Dunia terasa begitu asing sehingga Si Saya berpikir mengenai planet lain, Mars dan Venus. Ia seolah ingin melarikan diri dan mencoba hidup di dunia lain.

Cerpen terakhir yang mewakili perkembangan kesusastraan Korea adalah “Menyeberangi Perbatasan” karya Jeon Sung Tae. Park menemukan hidupnya yang berbeda ketika melakukan perjalanan dari Kamboja ke Thailand. Ia ditempatkan dalam posisi sama, ataupun berseberangan dengan orang lain. Ia bertemu Jan, orang Jerman Timur, dan Naoko, orang Jepang. Park dan Jan berasal dari negara yang terbelah akibat konflik, sedangkan Naoko mewakili negara yang pernah menjajah Korea. Ternyata, istilah perbatasan dan penjajahan masih menimbulkan gejolak. Ketika menyeberangi perbatasan Park mendengar peluit mainan, ia terkejut lantas berlari. Hal itu pun dirasakan Jan. Latar belakang sejarah dan sosial mereka serupa: bahwa menyeberangi perbatasan dapat berarti kematian.

Bagi yang tak mengalami perpecahan negara tentu tidak dapat merasakan hal itu. Namun, di tengah jejak traumatis masa lalu, Park tidak dapat memungkiri perasaan alamiah manusia. Ia jatuh cinta pada Naoko. Perjalanan pun menjadi menarik. Naoko menyadari ketidaksukaan orang Korea pada orang Jepang. Di antara pembicaraan Park dan Jan mengenai orientalisme dan negara Korea yang terbagi dan pembicaraan Park dengan Kuroda mengenai pergaulan Asia, terbetik hal lain. Cinta dapat mengalahkan segalanya. Park tidak peduli Naoko orang Jepang dan terus mengikutinya. Pengalaman cinta yang sekejap dirasakan begitu berkesan. Peristiwa yang mungkin dianggap terlarang oleh sebagian orang.

Membaca cerpen Korea (Selatan) sepanjang masa terlihat potret utuh dari negara Korea; bahwa perang adalah masa lalu yang harus dihargai dan dimaknai secara positif; bahwa kehidupan terus berjalan dan dihadapi dengan semangat dan perjuangan untuk memilih; bahwa kehidupan dapat bergulir di mana saja, pada laut, pabrik, kereta api. Kosmologi Korea bergerak di antara laut, pabrik, dan kereta api. Di antara semangat zaman yang terus bergulir seiring perkembangan masyarakat dan budaya. Di antara keputusasaan, semangat pantang menyerah, rindu dan dendam, serta cinta dan benci.

Laut menggambarkan sebuah dunia yang luas dan penuh dinamika. Terus bergerak dan bergulung. Jika kita pasrah menghadapi segala hal dalam hidup, maka kita akan terombang-ambing dan terdampar. Menjadi yang terasing. Pabrik pun demikian, di dalamnya ada manusia yang berjuang dan bertahan. Pun pasrah pada nasib. Di sana mungkin saja tercipta sebuah dunia yang lebih luas dari yang kita sadari. Ketika manusia berhadapan dengan sesamanya dan lingkungannya. Ketika berhadapan dengan kuasa tertinggi: Sang Presiden Direktur.

Kosmologi melihat alam semesta dari berbagai sudut. Dari segala sistem yang membentuknya. Dari ruang dan waktu yang melingkupi dunia dan menimbulkan kesadaran pada manusia. Ketika berada dalam kereta api, kita dihadapkan pada sebuah dunia lain. Yang terus berputar dan bermuara pada satu titik: pada sebuah pertanyaan hakiki bagi manusia. Dari mana kita berasal, ke mana kita menuju, dan bagaimana semua ini akan berakhir? (Karlina Supelli, 2004: xiii) Manusia selalu terjebak dalam kenyataan yang membuat rasa keterasingan semakin membuncah. Namun, setiap orang tentu memiliki jawaban yang dianggap tepat. Lalu bagaimana orang Korea memandang hal ini.

Korea adalah negara yang belajar dari masa lalu dan menghargai sejarah. Dari situlah manusia kembali menyadari akan eksistensi sesungguhnya di dunia. Menjadikan sejarah sebagai rel panjang yang mengantar pada perjuangan tiada akhir. Bertahan di dunia dengan segala konsekuensinya. Menyadari bahwa semua akan berakhir. Lalu mengusahakan agar semua menjadi baik dan seindah mungkin. Orang Korea berusaha meletakkan manusia pada tempat tertinggi dengan segala sikap sentimentil dan melankolisnya. Kejujuran dan semangat perjuangan yang tinggi adalah budaya yang berakar dalam masyarakat Korea. Paling tidak itulah yang dapat dimaknai dari perjalanan panjang cerpen Korea (Selatan).



DAFTAR PUSTAKA


Bertens, K. 2000. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Damono, Sapardi Djoko. 2004. “Kata Pengantar” dalam Antologi Cerpen Nobel, Wendoko, ed. Yogyakarta: Bentang.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.

Márquez, Gabriel García. “Seseorang telah Mengubah Susunan Mawar itu” dalam Antologi Cerpen Nobel, Wendoko, ed. Yogyakarta: Bentang.

Rangkuti, Hamsad, ed. 2007. Laut dan Kupu-Kupu, terj. Koh Young Hun dan Tommy Christomy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Supelli, Karlina. 2004. “Persinggahan Sang Penyair” dalam Kekasihku, Joko Pinurbo. Jakarta: KPG.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

1 comment:

  1. Salut yuk... Kalo ngeliat lu ketawa mah ga kebayang lu bisa nulis kayak gini, ehehhee

    ReplyDelete